Selasa, 20 November 2012

"Aku Kembalikan, Ken"




Hujan mengguyur Jakarta pagi ini. Udaranya membuatku beku. Meringkuk di balik selimut bermotif hujan salju tak berhasil mengangatkanku Kemudian terdengar dentang jam tua menandakan sudah pukul enam. Aku buru-buru turun dari tempat tidur dan keluar kamar sambil membebat tubuh dengan selimut. Dengan raut muka sebal karena dingin yang menusuk, aku berjingkat menuju dapur. Diam-diam mendekati Mbok Nah yang menyiapkan sarapan.

Setelah mengedarkan pandang sesaat, aku mendekati telinga wanita paruh baya itu dan berbisik, "Mbok, ijinin ke sekolah dong. Bilang aja Rissa lagi Sakit.”

“Lho, bukannya non Rissa sehat?" tanya Mbok Nah lugu.

"Aduh, mbok, pencitraan dong. Udah ya plis," mohonku Sambil memberi wejangan pelan.

Mbok Nah berjanji akan melakukan tugas mulia sebentar lagi. Setelah menyomot tempe, aku naik lagi ke kamar. Aku menutup pintu kamar dan kembali ke sahabat-paling-pengertian-ku, kasur. Aku menggulung diriku dengan selimut saking dinginnya. Setelah mengabarkan aksi pura-pura sakit hari ini pada Sarah, aku mencari posisi yang enak untuk melanjutkan tidurku.

Baru saja aku memejamkan mata, Mbok Nah masuk kamar dan membangunkanku. "Non, sudah suratnya. Lalu dititipkan ke siapa?"

"Bentar lagi diambil sama si Sarah, Mbok. Udah ah, ngantuk banget nih!" aku menjawab sambil tetap dalam bungkusan selimut.

Akhirnya aku dapat tidur tenang. Berjam-jam aku tidur, lagi-lagi dibubuhi mimpi itu. Sudah tiga hari terakhir selalu saja dia datang ke mimpiku. Dengan pakaian dan latar yang sama. Dia seperti ingin mengatakan sesuatu. Tetapi mimpi itu putus begitu saja saat dia membuka mulutnya. Dua hari lagi tanggal 5. Apa karena itu?

Iya cowok paling cool di sekolahku itu akan berulang tahun dua hari lagi. Ini kesempatan emas buatku, paling tidak ini ucapan terima kasih atas semua yang telah ia lakukan padaku. Kurang baik apa, Ken selalu ada di saat aku kesusahan. Dan ini membuat gadis-gadis di sekolahku meradang. Maka dari itu, aku harus punya hadiah spesial untuk Ken. Mudah-mudahan dengan bonus bolos ini, aku bisa mendapatkan ide bagus. Aku bergegas ke kamar mandi. Mungkin dengan guyuran air dari shower, kepalaku bisa lebih dingin tapi tak beku karena cuaca di luar. Tetiba aku teringat handuk merah yang pernah Ken pinjamkan padaku. Belum aku kembalikan. Aku buru-buru menyudahi mandi dan mencari handuk itu. Aku pun membongkar isi lemari.

Aku berniat mengembalikan handuk olahraga bekas menutupi darah yang mengucur kala aku jatuh beberapa bulan lalu. Aku memang ceroboh waktu itu. Bagaimana tak ceroboh jika saat berjalan anteng mendadak jatuh terpelset kulit pisang. Tak heran bila kemudian aku jatuh terguling dan pergelangan kakiku terbaret sesuatu hingga sobek dan mengeluarkan banyak darah. Bak seorang malaikat, Ken datang menolongku. Dengan begitu tenang, dia menggendongku sampai rumah.

Aku tak tahu bagaimana dia bisa tiba-tiba berada di belakangku. Yang pasti dia malaikat penjaga tak resmi yang selalu menghuni hari-hari kecilku. Sayangnya ketika mencari handuk merah itu, aku menemukan sesuatu yang lain. Sesuatu yang menyobek lukaku. Luka yang lebih sakit dari sekadar terbaret karena jatuh.

Selembar foto dengan sedikit catatan di baliknya. Foto yang membuatku memutar memoriku kembali tentang masa kejayaanku dulu. Jaya karena hari-hariku dipenuhi cinta dan kasih sayang dari dia yang tersenyum manis di foto itu. Kemudian, belakangan aku tahu, itu hanya senyum palsu. Dengan aku di sebelah kirinya yang tersenyum bahagia. Senyum lugu. Senyum tulus yang ternyata hanya dipermainkan. Aku membuang ingatanku mentah-mentah. Aku buru-buru melanjutkan pencarianku akan handuk Ken. Foto itu kubiarkan jatuh dan tertiup angin. Aku sudah tak menginginkannya, itu hanya akan merusak pikiranku kembali. Aku harus fokus. Aku harus menemukan handuk Ken dan mengembalikannya. Waktuku tinggal sehari. Sehari berikutnya pasti aku sibuk mengatur degup jantungku Aku harus memiliki sesuatu yang lebih di mata Ken dan membuat gadis-gadis itu iri menyaksikan aku nanti. Mmm.. Maksudku aku ingin Ken tahu betapa ia berarti bagiku. Meski aku harus melihat kenyataan bahwa ia adalah pangeran pujaan seantero sekolah.

Aku berhenti sebentar dari pencarian handuk Ken. Smartphone-ku berbunyi. Ah, Sarah menelepon. 

“Ngapain aja di rumah?” suara Sarah sedikit kurang jelas, karena backsound suara murid-murid yang sedang menghabiskan jam istirahat sekolah.

“Tidur..” jawabku enteng.

“Ah modus! Siapin kejutannya, jangan kalah sama yang lain!” ceplosan Sarah terasa seperti lemparan bantal ke mukaku. Sarah lalu mengikik. Ia tak tahu aku terbelalak dan ingin membekap mulutnya. Sarah menyudahi pembicaraan.

Aku pun kembali mencari handuk itu. Tanpa sengaja aku melihatnya ada di tumpukan baju paling atas. Yay! Ah, kenapa tidak dari tadi aku menemukannya. Aku menghela nafas panjang. Lalu berpikir harus aku pakan handuk ini? Aku mengendus bau handuk itu. Karena sudah terlalu lama di dalam lemari baunya jadi sedikit apak. Aku lalu mencuci, mengeringkannya memberi pengharum, menyetrikanya sampai aku tak tahu bagaimana lagi definisi lembut dan menatanya dalam kotak berwarna merah muda. Aku tak bisa berpikir apakah ini sudah berlebihan. Tapi semua belum selesai, karena aku sudah menyiapkan sesuatu khusus untuk Ken. Saat berniat kembali tidur, smartphone-ku berbunyi. Ada SMS dari Ken.

Itu kenapa surat kamu yang nulis Mbok Nah?

Iya, aku lagi males sekolah. Udah, kamu jam pelajaran kok SMS-an sih

Aku membalas pesan singkat itu sekenanya. Setelah membalas, aku langsung tidur. Aku rasakan jantungku semakin berdebar menyambut esok.

Dalam tidur, aku memimpikan Ken lagi. Tidak seperti sebelumnya, yang aku lihat kini dia malah berjalan pergi. Aku ingin mengejarnya Tapi untuk bangkit berdiri saja aku tak mampu. Entah mengapa di setiap mimpiku tentang Ken, aku tak bisa bergerak. Hanya diam. Lalu apa arti dari semua ini? Aku harus bercerita kepada Sarah. Aku segera mengamanatkan Sarah untuk mampir ke rumahku sepulang sekolah.

"Ada apaan sih, Ris? Gimana? Udah siap semuanya?" Sarah yang datang ke rumah langsung menuju kamarku dan menyapaku dengan senang. Tak ada rasa khawatir. Mungkin ia berpikir aku terlalu berlebihan memikirkan tentang mimpiku.

"Bentar dulu deh. Dengerin cerita mimpi gue," aku melipat tangan Sarah dengan sengaja dengan maksud memaksanya mendengarkan apa yang akan aku ceritakan. Aku menceritakan tentang mimpi yang berlanjut selama beberapa hari ini kepada Sarah. Ia hanya geleng-geleng terheran-heran tanpa berkata apapun. Sarah selalu begitu.

Aku memang selalu memikirkan mimpi yang kuanggap pertanda. Maka itu aku khawatir. Jujur saja,saat ini aku jadi sangat takut kehilangan Ken. Aku mulai mengatur yang ada pada diriku. Mulai dari mengendalikan degup jantung, perasaan hingga tingkah lakuku. Rasanya ada yang berkuasa atas diriku. Ah, aku selalu tak suka dengan perasaan yang tak karuan ini. Aku bahkan nyaris tak bisa tidur.

Dan aku baru sadar, bahwa tanggal 5 besok, aku harus ujian susulan Matematika. Aarrgh.. Aku mengacak-acak rambutku. Tapi apapun yang terjadi, semuanya harus aku lalui. Kotak berisi kejutan untuk Ken sudah rapi di atas meja belajar. Aku harap aku berani memberikannya pada Ken. Aku akan berusaha.

Hari H, aku berangkat ke sekolah sambil membawa kotak untuk Ken. Sesampainya di sekolah aku menitipkan benda itu ke kantin, supaya aman dan tidak ada yang curiga. Ibu kantin selalu baik kepada murid-murid di sekolah, yang jelas ia bisa menjaga rahasia.

Saat menuju kelas, aku berpapasan dengan Ken dan disambut senyumnya yang selalu meneduhkan.

"Eh, kamu ntar nggak buru-buru pulang kan, Ken?" aku berusaha memberikan senyum terbaikku saat menyapanya.

“Kenapa emang Ris?” Ken menimpali dengan sedikit mengangkat alisnya yang tebal.

“Nebeng dong, tapi tungguin bentar soalnya ada ujian susulan, ya ya…” aku mulai merajuk dan berusaha agar tak terlihat bodoh.

“Apa sih yang nggak buat kamu?" ujarnya sambil menyentuh ujung hidungku.

Aku pun meringis. Meski hatiku berteriak, “Iiiiihhh…gombal banget!!!!”

Tapi pipiku mendadak memerah tanpa tujuan sampai tak sadar Ken sudah ada di kelasnya dan Sarah berkacak pinggang menatapku sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Tak terasa ujian susulan sudah aku lalui. Semoga tak ada yang aku lewatkan saat mengerjakan tadi. Jujur saja, aku bingung.

Kemudian, dengan semangat aku berlari menuju di mana Ken janji menungguku. Taman sekolah yang asri. Namun aku terhenyak ketika mendapati ada Sarah di sana. Dia sibuk bercanda dengan Ken. Sampai suatu detik mereka saling tatap.

"Sar,"

"Iya Ken, ada apa?"

"Kamu mau nggak.."

DEG! Jantungku berdetak kencang. Aku hanya bisa mendengar pembicaraaan mereka dari jauh, tak begitu jelas. Aku berusaha keras menangkap kata-kata keduanya. Apa selama ini Ken menyukai Sarah. Tapi bagaimana mungkin?

“Mau apa, Ken?" tanya Sarah antusias.

Aku tak kalah antusias. Aku tak tahu bagaimana bentuk persahabatanku dengan Sarah nantinya kalau..

"Mmm, mau bantu comblangin aku sama adiknya Rissa? Si Rinna. Hehe.." satu kalimat meluncur dari mulut Ken dan ia mengungkapnya seolah ini adalah lelucon.

"Hah, Rinna?" Sarah kaget.

Aku pun terkejut. Kenapa Rinna?
Jantungku terasa tak lagi pada tempatnya. Otakku bekerja keras menemukan jawaban atas pertanyaan mengapa Rinna, mengapa tidak aku saja? Apa aku harus mengalami kecelakaan dan kehilangan kakiku agar Ken mencintaiku? Aku tak kuasa menahan air mataku. Aku melangkah mundur hingga menemukan bangku untuk duduk dan bersandar. Aku diam sejenak. Tatapanku kosong. Hingga smartphone-ku berbunyi dan menyadarkanku. Aku membaca pesan masuk dari Sarah dan segera membuka kotak kejutan yang telah kupersiapkan untuk Ken. Aku hanya mengambil handuk merah dan membuang kotak beserta benda lainnya yang ada di dalam kotak. Aku membuangnya ke dalam tempat sampah yang tak jauh dari hadapanku. Aku mengusap airmataku dan merapikan penampilanku. Dengan ketegaran yang kubuat-buat, aku berjalan riang ke tempat Ken dan Sarah menungguku.

"Udah lama nunggu ya? Maaf ya, tadi ke toilet bentar. Happy birthday ya, Ken. O iya, ini handuk yang pernah kamu pinjemin dulu. Makasih ya.." semua yang aku ucap terasa datar, hambar, tak seperti yang telah aku rencanakan.

"Waaah.. Makasih ya, Ris. Padahal gak papa juga sih gak dibalikin..hehehe.. Eh, kalian pasti belum makan kan? Yuk makan. Aku traktir deh. Yuk!" Ken tak menangkap apa pun yang aku rasakan. Ia memilih tak acuh dan menganggap semua ini, sekali lagi seperti lelucon. Dan aku adalah bonekanya.

"Ennnggg... Sori banget Ken, kita udah ada janji sama anak-anak cheers. Lain kali aja ya…. " Sarah membuat alasan yang seharusnya masuk akal dan bisa Ken terima. Ia pun hanya bisa mengangguk dan mungkin kecewa. Tapi entah karena apa. Aku hanya mengangguk mengiyakan kalimat Sarah lalu melambaikan tangan tanpa mampu berucap apa pun. Sarah yang menggandeng tanganku mempercepat langkahnya.

Ia tahu pasti bagaimana keadaanku saat itu. Akhirnya kami pergi meninggalkan sekolah dan menuju ke rumah Sarah. Di sana aku menumpahkan tangis dan amarahku hingga Sarah berhasil menenangkanku. Ken tidak boleh tahu apa yang terjadi padaku. Aku dan Sarah akhirnya sepakat untuk menyembunyikan semua ini dari Ken. Demi persahabatan kami. Demi perasaan Ken. Demi kebahagiaan Ken. Juga Rinna.

-tamat-

Tulisan Kolaborasi Adi Abbas Nugroho, Patricia Firscha Levyta Putri, dan Wulan Martina

Rabu, 31 Oktober 2012

Tumbal Bebal

Saat ini aku sedang tak ingin berbicara dengan siapapun, bahkan dengan langitpun aku tak mau berbagi. Mulutku terlanjur bungkam, ketika hati terlanjur dipenuhi dendam. Aku berhak untuk diam, karena diamku adalah teriakan terkerasku.
Aku tak ingin lagi bertindak bodoh untuk kesekian kalinya. Aku lelah. Dengan kamu, dia, dan semuanya. Sudah saatnya aku keluar dari jeratan kepura-puraan selama ini. Kepura-puraanmu akan aku dan kepura-puraanku akan kamu. Ketahuilah bahwa tidak sedikitpun aku benar bahagia.
Ya, aku tidak sedikitpun merasakan bahagia darimu. Ijinkan aku menyesali kebahagiaanku yang kugantungkan tepat di tanganmu, yang kini kau lepaskan... dan kau mengikat kebahagiaan dia. Aku enggan untuk berteriak pada kedua gendang telingamu, lagi. Karena aku tahu, kau adalah manusia tuli rasa.
Tapi tidak. Aku tidak akan meminta ijin darimu. Apa guna? Jangan tanyakan lagi, aku bukan apa-apa di matamu. Aku hanya akan diam dan mengamatimu, setidaknya sampai sesuatu terjadi padamu, pada kalian. Kalau kau tak percaya, kau sedang melangkah pada pembuktian itu. Lihat saja nanti, seberapa kuat kau bertahan.
Kebusukanmu sudah tercecer dimana-mana. Lantas, pada siapa lagi kau akan membubuhkan busukmu itu? Padanya? Dia yang membuatmu menistakan aku? Baiklah, sampai kapanpun itu kau tak bisa mengelak, kau tak bisa mengingkari kalau kau tak lebih hebat dari seorang pengecut. Silakan saja kau berbahagia dengannya, tapi jangan sesekali kau berbalik dan menatapku saat kau sudah tak lagi bisa mengeruk bahagia darinya.
Inilah. Selalu ini saja yang aku teriakkan dalam hati. Rasa-rasanya ingin berhenti hidup saja. Antara meneruskan dan menyudahi. Dengan keteguhan hati akhirnya aku memilih apa yang aku jalani sekarang. Entah sampai kapan aku dapat bertahan. Bahkan berharap pun aku sudah lelah.
Memang benar aku lelah, terjerembab dalam kehampaan. Aku membencimu, namun aku tak sanggup lagi menghujatmu. Aku tidak tahan dengan semua ini. Siapa yang bertanggung jawab atas semua ini? Kau ataukah diriku?
Malam ini terasa begitu sakral, aku mengingkan sebuah tumbal, mungkinkah itu diriku sendiri? Sepertinya begitu. Tak mungkin kau mau merelakan dirimu untuk semua yang ada ini. Aku tak ingin berharap yang tak pasti lagi darimu. Bukan tentang yang tak pasti, tetapi semua darimu adalah tak pasti. Sudah aku bilang aku tak ingin berharap lagi!
Pergilah kau wahai lelaki busuk! Kau bukan tumbal ku saat ini, kau beruntung, kau tahu itu. Tapi suatu saat nanti, saat kau menyerahkan dirimu lagi kepadaku, aku tak akan segan-segan.
Nantikanlah sesuatu terjadi padamu. Yang jelas itu bukan olehku. Dan pada akhirnya suatu saat nanti kau akan mengabarkan pada setiap orang bahwa akulah pemenangnya.

featuring Sindy Asta (@sindyasta)
31/10/2012 | 21.00 – 21.40 | via Yahoo! Messenger

Selasa, 30 Oktober 2012

Tak Dapat Lagi Disinggahi

@ptrcflp                      : sudah saya lihat. Bagus ya :)
@latte_fagustino     : ada namamu kan di hatiku?
@ptrcflp                      : sepertinya di sisi lain ada nama lain.
@latte_fagustino     : mungkin itu hanya sebuah nama yang lalu. Kenangan tua.
@ptrcflp                      : kenangan? Tidak ingin menghapusnya?
@latte_fagustino     : iya, kenangan tua. Apa kau bisa, untuk menghapusnya?
@ptrcflp                      : aku tidak yakin.
@latte_fagustino     : apa sebab?
@ptrcflp                      : karena aku sudah pernah mencoba. Aku takut. Lebih baik namaku saja yang kau hapus.
@latte_fagustino     : sudahlah, tak ada yang mesti ku hapus. Biar saja aku yang pergi, mencari dermaga-dermaga indah diluar sana.
@ptrcflp                      : carikan dermaga untukku juga.
@latte_fagustino     : bukankah kau sudah mendapatkannya, di seberang kejauhan sana? Meski dermagamu itu, serupa fatamorgana.
@ptrcflp                      : ya, aku sudah mendapatkannya. Tapi kini dermaga itu tak bisa disinggahi, seperti lampu yang kian meredup.
@latte_fagustino     : aku tahu itu, lewat kepingan-kepingan cerita cintamu yang kau pamerkan.
@ptrcflp                      : aku tak pernah memamerkan. Hanya saja dermaga itu telah disinggahi oleh pelabuh lain, dan itu menggemparkan.
@latte_fagustino     : sudahlah, diluar sana masih banyak keindahan yg belum kau lihat & rasakan. Cari dermagamu yg lain, lebih indah, bisa mengindahkanmu.

Selasa, 30 Oktober 2012 | 20.10 – 21.15 | via twitter | terima kasih, @latte_fagustino :)

Minggu, 28 Oktober 2012

Selingkuhi Tuhan



ditulis duet tanpa plot yang jelas. hanya 3 jam dengan berbalas tweet dan saling retweet...

Namanya Adid. Aku bertemu dengannya lima bulan lalu saat dia tergesa menuju masjid yang lokasinya tak jauh dari rumahku. Rupanya saat itu Adid mendapat giliran mengisi adzan di masjid dan sudah telat beberapa detik. Dalam ketergesaan itu dia menabrakku hingga kami berdua jatuh di aspal jalan.

"Astagfirullah, maaf," ucap Adid seraya membantuku berdiri dari jatuhku.

Sebenarnya aku marah, aku ingin mencecarnya. Namun setelah melihat baju koko putihnya, sarung kotak-kotak merah, peci dan tentu saja wajahnya yang khas keturunan Timur Tengah, aku dibuat terpesona olehnya. Demi Tuhan, dia begitu sempurna dan membuat dadaku berdebar. Linglung, aku menerima uluran tangannya begitu saja.

"Maaf, bukannya aku tak sopan tapi aku harus segera menuju masjid untuk kumandangkan adzan," kata Adid.

"Iy-Iya mas, silahkan," jawabku sambil tak henti menatapnya dengan mataku yang sipit. Yang kalau tertawa hanya akan terlihat segaris.

Usai itu aku tetap diam pada posisiku dan menatap punggungnya sampai mataku tak dapat menggapai sosoknya lagi. Aku merapikan pakaianku dan segera kembali ke rumah dengan senyum tak henti mengembang.

*

Kejadian itu masih terekam jelas di memoriku. Hingga saat ini aku berhasil mengenalnya lebih dekat. Dia baik, pengertian, humoris, seperti yang diidamkan banyak wanita sepertiku. Aku senang, hidupku menjadi berwarna, tidak seperti sebelum mengenalnya. Tak heran bila aku selalu melagu harap agar Mas Adid tak pernah pergi dari sisiku.

Dan, ya, memang Adid tak pernah pergi. Dia selalu ada bersamaku termasuk saat aku harus ke gereja. Dengan motor bututnya, dia mengantar aku menuju rumah di mana aku bebas bercengkrama dengan Tuhanku.

Dia menungguku dengan pergi ke toko buku di sebelah gereja. Dia habiskan waktunya di sana demi janjinya. Hingga kemudian aku menyadari aku mecintai kesederhanaan Adid. Aku mencintai dia meski kita berbeda agama.

Bahkan, aku tak peduli apa kata ibu sepulang kerja di perusahaan advertising Disaat aku berjibaku dengan bejibun deadline dan persiapan presentasi esoknya.

"Kamu dekat sama Adid anak bu Mirna, Ras? Dia muslim lho," kata ibu.

 "Terus?" kataku cuek.

"Ibu cuma ingetin aja sih. Kan kamu sendiri juga udah pernah ngerasain ini sebelumnya kan?"

"Tapi, Bu...." belum sempat aku mengeluarkan argumen, ibu berlalu meninggalkan aku yang tengah berhadapan dengan kertas-kertas tak berdosa yang kusut akibat kepanikanku akan tugas. Lalu aku harus berbuat apa? Ah, biarkan saja, toh dengan adanya mas Adid aku jadi lebih semangat. Bukannya ibu sudah tahu itu.

Disaat resah itulah terdengar suara adzan Maghrib. Suara mas Adid. Suaranya begitu merdu. Aku mencintai kumandang adzan sejak putuskan untuk mencintainya. Aku tak bermaksud menyelingkuhi Tuhanku. Hanya saja aku mencintai arti di balik seruan adzan; mengajak manusia sembah peciptanya melalui salat Fardu.

"Hayya 'alash sholah.. Hayya 'alash sholah.."

*

Keesokan harinya kami janjian bertemu. Mas Adid sengaja menjemputku sepulang meeting.Kebetulan dia pulang kerja lebih awal, jadi aku tak perlu menunggunya terlalu lama seperti biasa.

"Makan di mana nih enaknya?" tanya Adid.

 "Tempat biasa aja. Tapi nggak pake lama ya. Tugas Laras banyak," jawabku bak seorang bos.

"Siap komandan!"

Tetap dengan motor butut kesayangannya, kami menuju sebuah resto masakan Padang favorit kami karena rasa rendangnya memiliki cita rasa khas yang berbeda dengan resto lainnya.

Yang aku sukai dari mas Adid adalah dia berusaha untuk tidak berbicara saat makan. Hal sangat kecil yang menambah rasa kagumku terhadapnya. Aku selalu meraba-raba perasaannya. Apakah dia juga memiliki rasa yang meledak-ledak padaku? Jangan-jangan dia hanya menganggap aku tidak lebih dari adik. Huuf, hal yang selalu aku takutkan itu jangan sampai terjadi.

Tak heran bila aku selalu membawa namanya ke dalam doa. Tapi apakah dia juga melakukannya? Mendoakan aku? Terlebih hubungan kami.

"Huaa, kenyang. Pulang yuk mas!" kataku girang antara kurang ajar dan tak tahu diri.

"Eh, tunggu bentar Ras,"  kata Adid saat aku berdiri. Dia memegang pergelangan tanganku erat. Aku memandangnya penuh tanya, lalu duduk kembali.

"Ada apa mas, kamu mau nawarin bantu kerjain deadline-ku?" Selorohku. Dia tertawa. Tawa ringan yang diam-diam aku rindukan.

"Hehe, tapi aku nggak jamin kerjaabnu beres ya," katanya. Hening sejenak, setelah itu dia menatapku erat sambil menggengam tanganku.

"Ada apa sih mas?' tanyaku penasaran.

"Ras, kemarin aku nggak sengaja ketemu ibumu. Dia hanya melarangku terlalu dekat denganmu."

DEG! Aku lalu  melepas genggaman tangan Adid.  "Jadi mas mau menjauhi aku seperti kata ibuku, gitu?"

"Tentu saja nggak Ras. Jangan pernah bicara begitu."

"Lantas apa?" cecarku seraya hembuskan kecewa pada sikap Ibu yang semaunya. Kenapa ibu bisa melakukan hal seperti ini sih? Aku takut Adid meninggalkanku, aku takut.

Beberapa menit kemudian Adid hanya diam. Kami saling diam. Hingga aku memutuskan untuk berdiri dan melangkah keluar. Dia mengikutiku. Kami tetap saling diam hingga tiba di rumahku. Aku turun dari motor bututnya dan meninggalkan Adid begitu saja. Sebenarnya aku tidak ingin melawan ibu lagi, tapi aku juga takut jika harus berpisah dengan Adid.

Seharian aku mengurung diri di kamar. Merenung. Hingga mendapati pesan masuk dari Adid.

"Ras, maaf. Jangan sedih dong. Kan kamu udah janji nggak suka sedih lagi. Coba ke depan cermin terus senyum deh, pasti mata kamu sakit"

"?"

"Iya, kan kalo senyum  wajah kamu jadi bersinar. Hehehe.."

Diam-diam aku mempraktekkannya. Tapi mana? Mataku tidak sakit kok. Adid bohong!

*

Esoknya sebelum berangkat ke kantor aku bercerita pada ibu soal Adid. Aku bilang aku mencintai semua yang ada dalam diri pria 26 tahun itu. Ibu menatapku bingung. "Aku serius Bu."

"Apa kamu lupa hubunganmu sama Dipa?" katanya mengingatkan kisah laluku.

"Nggak bu."

"Lalu apa yang kamu harapkan Ras? kamu mau sakit hati lagi. Ibu sayang kamu Ras. Cukup Dipa. Jangan Adid. Keluarganya muslim terpandang. Ayahnya disegani orang-orang sekampung."

Tanpa ku tahan air mataku menetes. Aku sadar semua memang tak mudah. "Aku tahu bu, tapi aku sayang sama dia. Dia bukan Dipa bu, aku yakin dia nggak bakalan kayak Dipa."

"Pikirkan lagi Ras, terlebih apa dia mau berjuang dengan cinta kalian," kata-kata terakhir ibu membuatku tersentak. Aku ingat pertemuan terakhir kita di resto masakan Padang kemarin. Apakah iya Adid tak mau berjuang denganku? Atau aku hanya mencintai sendirian selama ini?

"Berjuang seperti apa maksud ibu?"

"Seperti yang ayahmu lakukan dulu."

Aku terdiam. Mungkinkah Adid melakukannya? Berjuang seperti Ayahku memperjuangkan haknya sebagai manusia untuk menikahi ibuku meski harus saling menghormati agama masing-masing. Bukankah Adid selama ini terkenal dengan taatnya pada agamanya? Apa mungkin dia mau seperti itu?

Aku jadi teringat kutipan sebuah film cin(T)a yang Dipa pernah perlihatkan padaku dulu. "Yakin lo masih mau sama gue? Tuhan gue aja berani gue khianatin, apalagi lo entar."

Pikiranku semakin kacau. Aku tidak berhenti memohon kepada Tuhan agar diberikan jalan keluar yang tepat. Segala langkah memang harus penuh pertimbangan.

*

Aku tak masuk kantor lagi, aku terus memikirkan Adid hingga kemudian meneleponnya pada suatu sore.

"Halo mas Adid."

"Eh Laras, ada apa?"

"Bisa kita ketemu bentar?"

"Di mana?"

"Jemput aja di rumah. kemana nanti bisa dipikirin sambil jalan," kataku.

Setelah itu aku menunggu Adid menjemputku dengan cemas.  Menunggunya membuatku kembali mengenang Dipa. Dia muslim yang tak setaat Adid dalam menjalankan perintah agama saja menyerah setelah berjuang cukup lama. Bagaimana Adid?

Aku lalu membandingkan Adid dengan Dipa, pria yang mengisi hari-hariku. Dengan dipa aku nyaman, namun dengan Adid aku memiliki masa depan. Dengan dipa semua hanya menjadi kisah lalu karena cara pandangnya yang kekanakan, dengan Adid semua jelas akan berjalan kemana. 

Namun perbedaan agama ini sepertinya akan terasa sulit bagi Adid. Terlebih dia tak pernah mengatakan suka padaku. Lalu bagaimana aku harus mulai bersikap? Rasanya sakit mencintai orang yang tak jelas bisa membalas cinta kita atau tidak. Ah adid. Kenapa harus kamu? Kenapa aku harus terjebak dalam kisah seperti ini untuk kedua kali?

"Ras! Laras!" seruan Adid membuyarkan lamunanku. Tanpa banyak bicara kami pergi menuju taman yang letaknya tak jauh dari rumah. Setelah hening, aku memulai pembicaraan.

"Aku cuma mau mendengar jawaban dari pertanyaan pada pertemuan terakhir kita. Lantas apa, mas? Jawab!" tegasku.

"Sebentar, Ras. Kita bicarakan pelan-pelan," mataku sudah berkaca-kaca. Aku tidak menatapnya. Aku tahu dia mengerti arah pembicaraan ini. Bisa jadi dia sudah tahu aku mencintainya. "Aku seneng bisa jadi orang istimewa buat kamu. Aku seneng lihat kamu jadi ceria setelah kenal aku, sebelum adanya masalah ini. Sebelum aku jawab, kamu mau nggak ngabulin permohonan aku?"

"Apa, Mas?"

"Apapun yang terjadi, jadilah orang yang ceria lagi. Kamu cantik. Sayang kalo nggak dimanfaatin buat nyenengin orang lain dengan senyum kamu. Janji?"

Aku hanya diam. Perasaanku tidak enak. Dan benar. "Ras, maafin mas ya. Mas sayang kok sama Laras. Tapi kita emang nggak bisa sama-sama, Ras. Tolong sama-sama ngerti keadaan ini, ya.."

Tubuhku membeku. Mataku terpejam dan dari  sana mengalir deras airmata. Akhirnya aku tahu bahwa hubungan ini takkan kemana-mana. Akhirnya aku tahu bahwa selama ini rasa cinta yang ada hanya dariku. Adid menyerah bahkan sebelum memulai semuanya. Kini aku tahu, ternyata Dipa lebih berani daripada Adid. Dan aku bangga pernah berjuang bersama Dipa untuk menyelingkuhi Tuhan. Setidaknya kami berjuang demi cinta yang ada. Demi kebahagiaan kami.

TAMAT

terima kasih @abbasarap

Sabtu, 18 Agustus 2012

De Saaie Grind (4)

Jemari lentik bergantian menekan tuts-tuts piano. Berirama di tengah kesepian. Mulut kaku bersenandung menyanyikan lagu yang terbawa kaku. Adakah kau mendengarkan, Sayang?
Aku sudah tinggal di sini. Sudah kutinggalkan rumah lamaku dan kini aku diam di sini. Bersama kamu, kadang-kadang. Resah. Dengarkan aku, Sayang. Bukankah kau yang menyuruhku berbalik arah? Masih ingat kan? Waktu itu kau marah karena aku tidak hadir di acaramu. Kau bilang aku merusak semua rencana. Kau bilang aku tidak menghargaimu. Kau bilang, tentu saja, aku tidak menyayangimu. Padahal sudah aku bilang sejak jauh hari bahwa aku tidak bisa hadir. Aku bilang aku memilih dia karena alasan yang kau pun tau. Hanya sekali saja kau sudah marah besar. Pakai bawa-bawa pisau segala. Kau payah.
Coba angkat teleponku. Jawab aku. Apa kau sudah makan siang? Come on, berhenti membohongiku. Berhenti menyiksa dirimu. Dengarkan aku. Aku sudah tinggal, Sayang. Apa lagi yang kau takutkan? Sekarang kau, kembalilah. Lihat, mereka pun merindukanmu.

De Saaie Grind (3)

Duk! Kepalaku terantuk ujung meja. Aku mengucek mata memperjelas penglihatanku. APA?!! Sekarang sudah jam 11!! Aku bergegas merapikan kertas-kertas yang berserakan di atas dan sekitar meja. Aku menarik selembar tissue dan mengelap bagian meja yang sedikit basah karena tumpahan susu cokelat. Aku meraih gelas dan meletakkan di wastafel dapur. Aku berlari ke kamar dan membanting pintu kamar, bergegas mengganti piyama yang kukenakan sekarang dengan pakaian yang lebih pantas, sebuah knit favorit berwarna krem dengan legging hitam. Kusolek wajahku secepatnya, dengan solekan natural. 
Ting...tong... Ah!! Aku mempercepat gerakanku. Ting...tong... Aku berlari keluar kamar menuju pintu depan. Aku berhenti sejenak merapikan degup jantungku. Aku meraih gagang pintu dan membukanya.

Seorang anak kecil, perempuan, usianya sekitar 8 tahun. Aku mengerutkan dahi. Siapa anak kecil ini? Aku melemparkan pandanganku ke sekitar namun tidak kudapati seorangpun kecuali anak ini. Tidak mungkin ia sendirian. Siapa ia? Ada urusan apa ia kemari? Lagipula tidak mungkin ia bisa memencet bel. Aku mencari-cari lagi. Tidak ada. Anak itu hanya memandangiku. Aku balik menatapnya. Cantik. Gaun cokelat. Rambutnya tipis, dikepang berantakan. Sesuatu dibawanya. Aku memusatkan perhatianku pada sesuatu itu. Lalu ia memanjangkan tangannya ke arahku, menyerahkan sesuatu yang dibawanya.
"Ini," katanya, menatapku dengan wajah datar.
"Dari siapa?" aku menyambut tangannya. Belum sempat aku melihatnya, ia berbalik dan berlari keluar halaman rumahku. "Tunggu! Kamu siapa?"
Selembar foto. Di sana ada aku yang sedang duduk dengan mata terpejam yang dipotret dari sisi kanan. Rambutku menari karena angin. Bibirku membentuk lengkungan. Aku memutar otakku kembali. Siapa? Dimana? Kapan? Mengapa? Bagaimana? Apa maksudnya?

Aku masuk dan menutup pintu. Aku duduk dan mengamati foto itu kembali. Tapi, ah, mungkin saja anak kecil tadi itu tetanggaku, yang tidak aku kenal, dan ia menemukan fotoku lalu mengembalikannya. Huuhh... Rasa kantuk tetap saja menyerangku. Padahal tadi sudah tertidur dua jam. Aku menengok melihat jam yang menunjukkan pukul 11.30. Aku menyalakan TV yang hanya aku pindah-pindah salurannya. Otakku berputar.
Foto, gadis kecil, kepangan, cokelat, foto, lari, foto, gadis kecil, lari... Deg! Aku mengerti sekarang! Aku berlari ke kamar mengambil kertas-kertas tadi.

De Saaie Grind (2)

Teruntuk kamu.
Bersama jutaan tetes air yang jatuh dari langit malam ini. Bersama ribuan bintang yang terkalahkan. Bersama angin semilir yang setia menerbangkan sisa-sisa rambut. Bersama segumpal kenangan yang tersimpan di lubuk. Bersama sebongkah kekecewaan yang bercampur harapan. Bersama bayang sesosok kamu yang duduk di sampingku menemani mencipta sebuah jurang kata.
Hanya secuil kata yang ingin kusampaikan. Aku rindu kamu. Itu saja.
Your love,
Stacy

De Saaie Grind (1)

Dentingan lonceng sore ini membawa anganku terhanyut menari seirama dengan lantunan terdengar. Mataku terpejam menikmati bayangan-bayangan yang tercipta. Menari, menari, berputar, melompat, menunduk, menari, terus menari. Sangat indah. Otot-otot bibirku tertarik menciptakan sebuah lengkungan. Manis. Seperti anganku yang menari sekarang. Desiran angin meniup sisa-sisa rambut yang kucepol. Bulu mataku turut melambai bersama angin. Anganku tetap menari. Perlahan ia menelanjangi dirinya. Tarian yang ia buat semakin menjadi-jadi. Dahiku terkernyitkan seketika. Otakku mulai turun tangan. Bibirku perlahan bergerak turun hingga datar. Dentingan lonceng terdengar semakin samar dan HILANG. Pikiranku buyar seketika. Mataku terbuka secara paksa. Ini sangat tidak nyaman.
Aku mengarahkan bola mataku ke kanan, bergerak ke kiri, kemudian kuputar badanku mencari-cari. Tidak kutemukan seorang pun dimana pun. Aku menyandarkan punggungku kembali. Tangan kananku memijat-mijat dahi sementara otakku terus bekerja keras. Aku melemparkan pandanganku ke seluruh sudut ruangan sekali lagi. Ternyata benar. Aku mendengus. Tapi……benda apa itu?! Aku memutar kepalaku ke kanan cepat. Leherku sedikit kumajukan dan mataku kukedip-kedipkan. Mencoba menerka benda apa itu. Ah, mungkin hanya hiasan tempat ini. Aku kembali bersandar dan menekuk lututku. Kuletakkan kepalaku di atas lutut dan tanganku membenarkan cepolan rambutku. Tubuhku lelah. Otakku memaksa otot-ototku agar meregang. Tubuhku semakin lemas. Aku menoleh ke kiri, memusatkan perhatianku ke luar ruangan, tetap dengan posisi sebelumnya. Angin kembali mengajakku bermain dalam permainannya. Aku ingin. Sangat ingin. Namun waktu tidak mengijinkanku. Angin, ijinkan aku menolak ajakanmu untuk kali ini.
Aku meraih benda bulat berwarna cokelat dan memasukkannya ke dalam tasku. Aku berdiri, meraih ponselku, dan melangkahkan kaki meninggalkan tempat itu, tentunya melalui pintu keluar yang terletak di sebelah kanan dari arah dudukku tadi. Sedikit kecewa. Namun dentingan lonceng dan desiran angin yang telah mengajakku bermain dengan tarian cukup membuatku menikmati waktu sia-sia ini.
Benda di meja itu masih menarik perhatianku. Terpaksa aku menghampirinya. Sebuket mawar merah! Indah. Seperti yang selalu aku dapat setiap bulan. Aku mengernyitkan dahi, meraih sebuah catatan kecil di sana. Catatan itu bertuliskan “I’m sorry, this is the last. I love you”. Tubuhku lemas seketika. Catatan itu melayang jatuh ke lantai. Buket mawar pun aku biarkan meluncur dari tangan kiriku. Aku mencoba menopang tubuhku yang tiba-tiba terasa berat. Dan………gelap.