ditulis duet tanpa plot yang jelas. hanya 3 jam dengan
berbalas tweet dan saling retweet...
Namanya Adid. Aku bertemu dengannya lima bulan lalu saat dia
tergesa menuju masjid yang lokasinya tak jauh dari rumahku. Rupanya saat itu
Adid mendapat giliran mengisi adzan di masjid dan sudah telat beberapa detik.
Dalam ketergesaan itu dia menabrakku hingga kami berdua jatuh di aspal jalan.
"Astagfirullah, maaf," ucap Adid seraya membantuku
berdiri dari jatuhku.
Sebenarnya aku marah, aku ingin mencecarnya. Namun setelah
melihat baju koko putihnya, sarung kotak-kotak merah, peci dan tentu saja
wajahnya yang khas keturunan Timur Tengah, aku dibuat terpesona olehnya. Demi
Tuhan, dia begitu sempurna dan membuat dadaku berdebar. Linglung, aku menerima
uluran tangannya begitu saja.
"Maaf, bukannya aku tak sopan tapi aku harus segera
menuju masjid untuk kumandangkan adzan," kata Adid.
"Iy-Iya mas, silahkan," jawabku sambil tak henti
menatapnya dengan mataku yang sipit. Yang kalau tertawa hanya akan terlihat
segaris.
Usai itu aku tetap diam pada posisiku dan menatap
punggungnya sampai mataku tak dapat menggapai sosoknya lagi. Aku merapikan
pakaianku dan segera kembali ke rumah dengan senyum tak henti mengembang.
*
Kejadian itu masih terekam jelas di memoriku. Hingga saat
ini aku berhasil mengenalnya lebih dekat. Dia baik, pengertian, humoris,
seperti yang diidamkan banyak wanita sepertiku. Aku senang, hidupku menjadi
berwarna, tidak seperti sebelum mengenalnya. Tak heran bila aku selalu melagu
harap agar Mas Adid tak pernah pergi dari sisiku.
Dan, ya, memang Adid tak pernah pergi. Dia selalu ada
bersamaku termasuk saat aku harus ke gereja. Dengan motor bututnya, dia
mengantar aku menuju rumah di mana aku bebas bercengkrama dengan Tuhanku.
Dia menungguku dengan pergi ke toko buku di sebelah gereja.
Dia habiskan waktunya di sana demi janjinya. Hingga kemudian aku menyadari aku
mecintai kesederhanaan Adid. Aku mencintai dia meski kita berbeda agama.
Bahkan, aku tak peduli apa kata ibu sepulang kerja di
perusahaan advertising Disaat aku berjibaku dengan bejibun deadline dan
persiapan presentasi esoknya.
"Kamu dekat sama Adid anak bu Mirna, Ras? Dia muslim
lho," kata ibu.
"Terus?"
kataku cuek.
"Ibu cuma ingetin aja sih. Kan kamu sendiri juga udah
pernah ngerasain ini sebelumnya kan?"
"Tapi, Bu...." belum sempat aku mengeluarkan
argumen, ibu berlalu meninggalkan aku yang tengah berhadapan dengan
kertas-kertas tak berdosa yang kusut akibat kepanikanku akan tugas. Lalu aku
harus berbuat apa? Ah, biarkan saja, toh dengan adanya mas Adid aku jadi lebih
semangat. Bukannya ibu sudah tahu itu.
Disaat resah itulah terdengar suara adzan Maghrib. Suara mas
Adid. Suaranya begitu merdu. Aku mencintai kumandang adzan sejak putuskan untuk
mencintainya. Aku tak bermaksud menyelingkuhi Tuhanku. Hanya saja aku mencintai
arti di balik seruan adzan; mengajak manusia sembah peciptanya melalui salat
Fardu.
"Hayya 'alash sholah.. Hayya 'alash sholah.."
*
Keesokan harinya kami janjian bertemu. Mas Adid sengaja menjemputku
sepulang meeting.Kebetulan dia pulang kerja lebih awal, jadi aku tak perlu
menunggunya terlalu lama seperti biasa.
"Makan di mana nih enaknya?" tanya Adid.
"Tempat biasa
aja. Tapi nggak pake lama ya. Tugas Laras banyak," jawabku bak seorang bos.
"Siap komandan!"
Tetap dengan motor butut kesayangannya, kami menuju sebuah
resto masakan Padang favorit kami karena rasa rendangnya memiliki cita rasa
khas yang berbeda dengan resto lainnya.
Yang aku sukai dari mas Adid adalah dia berusaha untuk tidak
berbicara saat makan. Hal sangat kecil yang menambah rasa kagumku terhadapnya.
Aku selalu meraba-raba perasaannya. Apakah dia juga memiliki rasa yang
meledak-ledak padaku? Jangan-jangan dia hanya menganggap aku tidak lebih dari
adik. Huuf, hal yang selalu aku takutkan itu jangan sampai terjadi.
Tak heran bila aku selalu membawa namanya ke dalam doa. Tapi
apakah dia juga melakukannya? Mendoakan aku? Terlebih hubungan kami.
"Huaa, kenyang. Pulang yuk mas!" kataku girang
antara kurang ajar dan tak tahu diri.
"Eh, tunggu bentar Ras," kata Adid saat aku berdiri. Dia memegang
pergelangan tanganku erat. Aku memandangnya penuh tanya, lalu duduk kembali.
"Ada apa mas, kamu mau nawarin bantu kerjain
deadline-ku?" Selorohku. Dia tertawa. Tawa ringan yang diam-diam aku
rindukan.
"Hehe, tapi aku nggak jamin kerjaabnu beres ya,"
katanya. Hening sejenak, setelah itu dia menatapku erat sambil menggengam
tanganku.
"Ada apa sih mas?' tanyaku penasaran.
"Ras, kemarin aku nggak sengaja ketemu ibumu. Dia hanya
melarangku terlalu dekat denganmu."
DEG! Aku lalu melepas
genggaman tangan Adid. "Jadi mas
mau menjauhi aku seperti kata ibuku, gitu?"
"Tentu saja nggak Ras. Jangan pernah bicara
begitu."
"Lantas apa?" cecarku seraya hembuskan kecewa pada
sikap Ibu yang semaunya. Kenapa ibu bisa melakukan hal seperti ini sih? Aku
takut Adid meninggalkanku, aku takut.
Beberapa menit kemudian Adid hanya diam. Kami saling diam.
Hingga aku memutuskan untuk berdiri dan melangkah keluar. Dia mengikutiku. Kami
tetap saling diam hingga tiba di rumahku. Aku turun dari motor bututnya dan
meninggalkan Adid begitu saja. Sebenarnya aku tidak ingin melawan ibu lagi,
tapi aku juga takut jika harus berpisah dengan Adid.
Seharian aku mengurung diri di kamar. Merenung. Hingga
mendapati pesan masuk dari Adid.
"Ras, maaf. Jangan sedih dong. Kan kamu udah janji
nggak suka sedih lagi. Coba ke depan cermin terus senyum deh, pasti mata kamu
sakit"
"?"
"Iya, kan kalo senyum
wajah kamu jadi bersinar. Hehehe.."
Diam-diam aku mempraktekkannya. Tapi mana? Mataku tidak
sakit kok. Adid bohong!
*
Esoknya sebelum berangkat ke kantor aku bercerita pada ibu
soal Adid. Aku bilang aku mencintai semua yang ada dalam diri pria 26 tahun
itu. Ibu menatapku bingung. "Aku serius Bu."
"Apa kamu lupa hubunganmu sama Dipa?" katanya
mengingatkan kisah laluku.
"Nggak bu."
"Lalu apa yang kamu harapkan Ras? kamu mau sakit hati
lagi. Ibu sayang kamu Ras. Cukup Dipa. Jangan Adid. Keluarganya muslim
terpandang. Ayahnya disegani orang-orang sekampung."
Tanpa ku tahan air mataku menetes. Aku sadar semua memang
tak mudah. "Aku tahu bu, tapi aku sayang sama dia. Dia bukan Dipa bu, aku
yakin dia nggak bakalan kayak Dipa."
"Pikirkan lagi Ras, terlebih apa dia mau berjuang
dengan cinta kalian," kata-kata terakhir ibu membuatku tersentak. Aku
ingat pertemuan terakhir kita di resto masakan Padang kemarin. Apakah iya Adid
tak mau berjuang denganku? Atau aku hanya mencintai sendirian selama ini?
"Berjuang seperti apa maksud ibu?"
"Seperti yang ayahmu lakukan dulu."
Aku terdiam. Mungkinkah Adid melakukannya? Berjuang seperti
Ayahku memperjuangkan haknya sebagai manusia untuk menikahi ibuku meski harus
saling menghormati agama masing-masing. Bukankah Adid selama ini terkenal
dengan taatnya pada agamanya? Apa mungkin dia mau seperti itu?
Aku jadi teringat kutipan sebuah film cin(T)a yang Dipa
pernah perlihatkan padaku dulu. "Yakin lo masih mau sama gue? Tuhan gue
aja berani gue khianatin, apalagi lo entar."
Pikiranku semakin kacau. Aku tidak berhenti memohon kepada
Tuhan agar diberikan jalan keluar yang tepat. Segala langkah memang harus penuh
pertimbangan.
*
Aku tak masuk kantor lagi, aku terus memikirkan Adid hingga
kemudian meneleponnya pada suatu sore.
"Halo mas Adid."
"Eh Laras, ada apa?"
"Bisa kita ketemu bentar?"
"Di mana?"
"Jemput aja di rumah. kemana nanti bisa dipikirin
sambil jalan," kataku.
Setelah itu aku menunggu Adid menjemputku dengan cemas. Menunggunya membuatku kembali mengenang Dipa.
Dia muslim yang tak setaat Adid dalam menjalankan perintah agama saja menyerah
setelah berjuang cukup lama. Bagaimana Adid?
Aku lalu membandingkan Adid dengan Dipa, pria yang mengisi
hari-hariku. Dengan dipa aku nyaman, namun dengan Adid aku memiliki masa depan.
Dengan dipa semua hanya menjadi kisah lalu karena cara pandangnya yang
kekanakan, dengan Adid semua jelas akan berjalan kemana.
Namun perbedaan agama ini sepertinya akan terasa sulit bagi
Adid. Terlebih dia tak pernah mengatakan suka padaku. Lalu bagaimana aku harus
mulai bersikap? Rasanya sakit mencintai orang yang tak jelas bisa membalas
cinta kita atau tidak. Ah adid. Kenapa harus kamu? Kenapa aku harus terjebak
dalam kisah seperti ini untuk kedua kali?
"Ras! Laras!" seruan Adid membuyarkan lamunanku.
Tanpa banyak bicara kami pergi menuju taman yang letaknya tak jauh dari rumah.
Setelah hening, aku memulai pembicaraan.
"Aku cuma mau mendengar jawaban dari pertanyaan pada
pertemuan terakhir kita. Lantas apa, mas? Jawab!" tegasku.
"Sebentar, Ras. Kita bicarakan pelan-pelan,"
mataku sudah berkaca-kaca. Aku tidak menatapnya. Aku tahu dia mengerti arah
pembicaraan ini. Bisa jadi dia sudah tahu aku mencintainya. "Aku seneng
bisa jadi orang istimewa buat kamu. Aku seneng lihat kamu jadi ceria setelah
kenal aku, sebelum adanya masalah ini. Sebelum aku jawab, kamu mau nggak
ngabulin permohonan aku?"
"Apa, Mas?"
"Apapun yang terjadi, jadilah orang yang ceria lagi.
Kamu cantik. Sayang kalo nggak dimanfaatin buat nyenengin orang lain dengan
senyum kamu. Janji?"
Aku hanya diam. Perasaanku tidak enak. Dan benar. "Ras,
maafin mas ya. Mas sayang kok sama Laras. Tapi kita emang nggak bisa sama-sama,
Ras. Tolong sama-sama ngerti keadaan ini, ya.."
Tubuhku membeku. Mataku terpejam dan dari sana mengalir deras airmata. Akhirnya aku
tahu bahwa hubungan ini takkan kemana-mana. Akhirnya aku tahu bahwa selama ini
rasa cinta yang ada hanya dariku. Adid menyerah bahkan sebelum memulai
semuanya. Kini aku tahu, ternyata Dipa lebih berani daripada Adid. Dan aku
bangga pernah berjuang bersama Dipa untuk menyelingkuhi Tuhan. Setidaknya kami
berjuang demi cinta yang ada. Demi kebahagiaan kami.
TAMAT