Selasa, 20 November 2012

"Aku Kembalikan, Ken"




Hujan mengguyur Jakarta pagi ini. Udaranya membuatku beku. Meringkuk di balik selimut bermotif hujan salju tak berhasil mengangatkanku Kemudian terdengar dentang jam tua menandakan sudah pukul enam. Aku buru-buru turun dari tempat tidur dan keluar kamar sambil membebat tubuh dengan selimut. Dengan raut muka sebal karena dingin yang menusuk, aku berjingkat menuju dapur. Diam-diam mendekati Mbok Nah yang menyiapkan sarapan.

Setelah mengedarkan pandang sesaat, aku mendekati telinga wanita paruh baya itu dan berbisik, "Mbok, ijinin ke sekolah dong. Bilang aja Rissa lagi Sakit.”

“Lho, bukannya non Rissa sehat?" tanya Mbok Nah lugu.

"Aduh, mbok, pencitraan dong. Udah ya plis," mohonku Sambil memberi wejangan pelan.

Mbok Nah berjanji akan melakukan tugas mulia sebentar lagi. Setelah menyomot tempe, aku naik lagi ke kamar. Aku menutup pintu kamar dan kembali ke sahabat-paling-pengertian-ku, kasur. Aku menggulung diriku dengan selimut saking dinginnya. Setelah mengabarkan aksi pura-pura sakit hari ini pada Sarah, aku mencari posisi yang enak untuk melanjutkan tidurku.

Baru saja aku memejamkan mata, Mbok Nah masuk kamar dan membangunkanku. "Non, sudah suratnya. Lalu dititipkan ke siapa?"

"Bentar lagi diambil sama si Sarah, Mbok. Udah ah, ngantuk banget nih!" aku menjawab sambil tetap dalam bungkusan selimut.

Akhirnya aku dapat tidur tenang. Berjam-jam aku tidur, lagi-lagi dibubuhi mimpi itu. Sudah tiga hari terakhir selalu saja dia datang ke mimpiku. Dengan pakaian dan latar yang sama. Dia seperti ingin mengatakan sesuatu. Tetapi mimpi itu putus begitu saja saat dia membuka mulutnya. Dua hari lagi tanggal 5. Apa karena itu?

Iya cowok paling cool di sekolahku itu akan berulang tahun dua hari lagi. Ini kesempatan emas buatku, paling tidak ini ucapan terima kasih atas semua yang telah ia lakukan padaku. Kurang baik apa, Ken selalu ada di saat aku kesusahan. Dan ini membuat gadis-gadis di sekolahku meradang. Maka dari itu, aku harus punya hadiah spesial untuk Ken. Mudah-mudahan dengan bonus bolos ini, aku bisa mendapatkan ide bagus. Aku bergegas ke kamar mandi. Mungkin dengan guyuran air dari shower, kepalaku bisa lebih dingin tapi tak beku karena cuaca di luar. Tetiba aku teringat handuk merah yang pernah Ken pinjamkan padaku. Belum aku kembalikan. Aku buru-buru menyudahi mandi dan mencari handuk itu. Aku pun membongkar isi lemari.

Aku berniat mengembalikan handuk olahraga bekas menutupi darah yang mengucur kala aku jatuh beberapa bulan lalu. Aku memang ceroboh waktu itu. Bagaimana tak ceroboh jika saat berjalan anteng mendadak jatuh terpelset kulit pisang. Tak heran bila kemudian aku jatuh terguling dan pergelangan kakiku terbaret sesuatu hingga sobek dan mengeluarkan banyak darah. Bak seorang malaikat, Ken datang menolongku. Dengan begitu tenang, dia menggendongku sampai rumah.

Aku tak tahu bagaimana dia bisa tiba-tiba berada di belakangku. Yang pasti dia malaikat penjaga tak resmi yang selalu menghuni hari-hari kecilku. Sayangnya ketika mencari handuk merah itu, aku menemukan sesuatu yang lain. Sesuatu yang menyobek lukaku. Luka yang lebih sakit dari sekadar terbaret karena jatuh.

Selembar foto dengan sedikit catatan di baliknya. Foto yang membuatku memutar memoriku kembali tentang masa kejayaanku dulu. Jaya karena hari-hariku dipenuhi cinta dan kasih sayang dari dia yang tersenyum manis di foto itu. Kemudian, belakangan aku tahu, itu hanya senyum palsu. Dengan aku di sebelah kirinya yang tersenyum bahagia. Senyum lugu. Senyum tulus yang ternyata hanya dipermainkan. Aku membuang ingatanku mentah-mentah. Aku buru-buru melanjutkan pencarianku akan handuk Ken. Foto itu kubiarkan jatuh dan tertiup angin. Aku sudah tak menginginkannya, itu hanya akan merusak pikiranku kembali. Aku harus fokus. Aku harus menemukan handuk Ken dan mengembalikannya. Waktuku tinggal sehari. Sehari berikutnya pasti aku sibuk mengatur degup jantungku Aku harus memiliki sesuatu yang lebih di mata Ken dan membuat gadis-gadis itu iri menyaksikan aku nanti. Mmm.. Maksudku aku ingin Ken tahu betapa ia berarti bagiku. Meski aku harus melihat kenyataan bahwa ia adalah pangeran pujaan seantero sekolah.

Aku berhenti sebentar dari pencarian handuk Ken. Smartphone-ku berbunyi. Ah, Sarah menelepon. 

“Ngapain aja di rumah?” suara Sarah sedikit kurang jelas, karena backsound suara murid-murid yang sedang menghabiskan jam istirahat sekolah.

“Tidur..” jawabku enteng.

“Ah modus! Siapin kejutannya, jangan kalah sama yang lain!” ceplosan Sarah terasa seperti lemparan bantal ke mukaku. Sarah lalu mengikik. Ia tak tahu aku terbelalak dan ingin membekap mulutnya. Sarah menyudahi pembicaraan.

Aku pun kembali mencari handuk itu. Tanpa sengaja aku melihatnya ada di tumpukan baju paling atas. Yay! Ah, kenapa tidak dari tadi aku menemukannya. Aku menghela nafas panjang. Lalu berpikir harus aku pakan handuk ini? Aku mengendus bau handuk itu. Karena sudah terlalu lama di dalam lemari baunya jadi sedikit apak. Aku lalu mencuci, mengeringkannya memberi pengharum, menyetrikanya sampai aku tak tahu bagaimana lagi definisi lembut dan menatanya dalam kotak berwarna merah muda. Aku tak bisa berpikir apakah ini sudah berlebihan. Tapi semua belum selesai, karena aku sudah menyiapkan sesuatu khusus untuk Ken. Saat berniat kembali tidur, smartphone-ku berbunyi. Ada SMS dari Ken.

Itu kenapa surat kamu yang nulis Mbok Nah?

Iya, aku lagi males sekolah. Udah, kamu jam pelajaran kok SMS-an sih

Aku membalas pesan singkat itu sekenanya. Setelah membalas, aku langsung tidur. Aku rasakan jantungku semakin berdebar menyambut esok.

Dalam tidur, aku memimpikan Ken lagi. Tidak seperti sebelumnya, yang aku lihat kini dia malah berjalan pergi. Aku ingin mengejarnya Tapi untuk bangkit berdiri saja aku tak mampu. Entah mengapa di setiap mimpiku tentang Ken, aku tak bisa bergerak. Hanya diam. Lalu apa arti dari semua ini? Aku harus bercerita kepada Sarah. Aku segera mengamanatkan Sarah untuk mampir ke rumahku sepulang sekolah.

"Ada apaan sih, Ris? Gimana? Udah siap semuanya?" Sarah yang datang ke rumah langsung menuju kamarku dan menyapaku dengan senang. Tak ada rasa khawatir. Mungkin ia berpikir aku terlalu berlebihan memikirkan tentang mimpiku.

"Bentar dulu deh. Dengerin cerita mimpi gue," aku melipat tangan Sarah dengan sengaja dengan maksud memaksanya mendengarkan apa yang akan aku ceritakan. Aku menceritakan tentang mimpi yang berlanjut selama beberapa hari ini kepada Sarah. Ia hanya geleng-geleng terheran-heran tanpa berkata apapun. Sarah selalu begitu.

Aku memang selalu memikirkan mimpi yang kuanggap pertanda. Maka itu aku khawatir. Jujur saja,saat ini aku jadi sangat takut kehilangan Ken. Aku mulai mengatur yang ada pada diriku. Mulai dari mengendalikan degup jantung, perasaan hingga tingkah lakuku. Rasanya ada yang berkuasa atas diriku. Ah, aku selalu tak suka dengan perasaan yang tak karuan ini. Aku bahkan nyaris tak bisa tidur.

Dan aku baru sadar, bahwa tanggal 5 besok, aku harus ujian susulan Matematika. Aarrgh.. Aku mengacak-acak rambutku. Tapi apapun yang terjadi, semuanya harus aku lalui. Kotak berisi kejutan untuk Ken sudah rapi di atas meja belajar. Aku harap aku berani memberikannya pada Ken. Aku akan berusaha.

Hari H, aku berangkat ke sekolah sambil membawa kotak untuk Ken. Sesampainya di sekolah aku menitipkan benda itu ke kantin, supaya aman dan tidak ada yang curiga. Ibu kantin selalu baik kepada murid-murid di sekolah, yang jelas ia bisa menjaga rahasia.

Saat menuju kelas, aku berpapasan dengan Ken dan disambut senyumnya yang selalu meneduhkan.

"Eh, kamu ntar nggak buru-buru pulang kan, Ken?" aku berusaha memberikan senyum terbaikku saat menyapanya.

“Kenapa emang Ris?” Ken menimpali dengan sedikit mengangkat alisnya yang tebal.

“Nebeng dong, tapi tungguin bentar soalnya ada ujian susulan, ya ya…” aku mulai merajuk dan berusaha agar tak terlihat bodoh.

“Apa sih yang nggak buat kamu?" ujarnya sambil menyentuh ujung hidungku.

Aku pun meringis. Meski hatiku berteriak, “Iiiiihhh…gombal banget!!!!”

Tapi pipiku mendadak memerah tanpa tujuan sampai tak sadar Ken sudah ada di kelasnya dan Sarah berkacak pinggang menatapku sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Tak terasa ujian susulan sudah aku lalui. Semoga tak ada yang aku lewatkan saat mengerjakan tadi. Jujur saja, aku bingung.

Kemudian, dengan semangat aku berlari menuju di mana Ken janji menungguku. Taman sekolah yang asri. Namun aku terhenyak ketika mendapati ada Sarah di sana. Dia sibuk bercanda dengan Ken. Sampai suatu detik mereka saling tatap.

"Sar,"

"Iya Ken, ada apa?"

"Kamu mau nggak.."

DEG! Jantungku berdetak kencang. Aku hanya bisa mendengar pembicaraaan mereka dari jauh, tak begitu jelas. Aku berusaha keras menangkap kata-kata keduanya. Apa selama ini Ken menyukai Sarah. Tapi bagaimana mungkin?

“Mau apa, Ken?" tanya Sarah antusias.

Aku tak kalah antusias. Aku tak tahu bagaimana bentuk persahabatanku dengan Sarah nantinya kalau..

"Mmm, mau bantu comblangin aku sama adiknya Rissa? Si Rinna. Hehe.." satu kalimat meluncur dari mulut Ken dan ia mengungkapnya seolah ini adalah lelucon.

"Hah, Rinna?" Sarah kaget.

Aku pun terkejut. Kenapa Rinna?
Jantungku terasa tak lagi pada tempatnya. Otakku bekerja keras menemukan jawaban atas pertanyaan mengapa Rinna, mengapa tidak aku saja? Apa aku harus mengalami kecelakaan dan kehilangan kakiku agar Ken mencintaiku? Aku tak kuasa menahan air mataku. Aku melangkah mundur hingga menemukan bangku untuk duduk dan bersandar. Aku diam sejenak. Tatapanku kosong. Hingga smartphone-ku berbunyi dan menyadarkanku. Aku membaca pesan masuk dari Sarah dan segera membuka kotak kejutan yang telah kupersiapkan untuk Ken. Aku hanya mengambil handuk merah dan membuang kotak beserta benda lainnya yang ada di dalam kotak. Aku membuangnya ke dalam tempat sampah yang tak jauh dari hadapanku. Aku mengusap airmataku dan merapikan penampilanku. Dengan ketegaran yang kubuat-buat, aku berjalan riang ke tempat Ken dan Sarah menungguku.

"Udah lama nunggu ya? Maaf ya, tadi ke toilet bentar. Happy birthday ya, Ken. O iya, ini handuk yang pernah kamu pinjemin dulu. Makasih ya.." semua yang aku ucap terasa datar, hambar, tak seperti yang telah aku rencanakan.

"Waaah.. Makasih ya, Ris. Padahal gak papa juga sih gak dibalikin..hehehe.. Eh, kalian pasti belum makan kan? Yuk makan. Aku traktir deh. Yuk!" Ken tak menangkap apa pun yang aku rasakan. Ia memilih tak acuh dan menganggap semua ini, sekali lagi seperti lelucon. Dan aku adalah bonekanya.

"Ennnggg... Sori banget Ken, kita udah ada janji sama anak-anak cheers. Lain kali aja ya…. " Sarah membuat alasan yang seharusnya masuk akal dan bisa Ken terima. Ia pun hanya bisa mengangguk dan mungkin kecewa. Tapi entah karena apa. Aku hanya mengangguk mengiyakan kalimat Sarah lalu melambaikan tangan tanpa mampu berucap apa pun. Sarah yang menggandeng tanganku mempercepat langkahnya.

Ia tahu pasti bagaimana keadaanku saat itu. Akhirnya kami pergi meninggalkan sekolah dan menuju ke rumah Sarah. Di sana aku menumpahkan tangis dan amarahku hingga Sarah berhasil menenangkanku. Ken tidak boleh tahu apa yang terjadi padaku. Aku dan Sarah akhirnya sepakat untuk menyembunyikan semua ini dari Ken. Demi persahabatan kami. Demi perasaan Ken. Demi kebahagiaan Ken. Juga Rinna.

-tamat-

Tulisan Kolaborasi Adi Abbas Nugroho, Patricia Firscha Levyta Putri, dan Wulan Martina