Sabtu, 18 Agustus 2012

De Saaie Grind (4)

Jemari lentik bergantian menekan tuts-tuts piano. Berirama di tengah kesepian. Mulut kaku bersenandung menyanyikan lagu yang terbawa kaku. Adakah kau mendengarkan, Sayang?
Aku sudah tinggal di sini. Sudah kutinggalkan rumah lamaku dan kini aku diam di sini. Bersama kamu, kadang-kadang. Resah. Dengarkan aku, Sayang. Bukankah kau yang menyuruhku berbalik arah? Masih ingat kan? Waktu itu kau marah karena aku tidak hadir di acaramu. Kau bilang aku merusak semua rencana. Kau bilang aku tidak menghargaimu. Kau bilang, tentu saja, aku tidak menyayangimu. Padahal sudah aku bilang sejak jauh hari bahwa aku tidak bisa hadir. Aku bilang aku memilih dia karena alasan yang kau pun tau. Hanya sekali saja kau sudah marah besar. Pakai bawa-bawa pisau segala. Kau payah.
Coba angkat teleponku. Jawab aku. Apa kau sudah makan siang? Come on, berhenti membohongiku. Berhenti menyiksa dirimu. Dengarkan aku. Aku sudah tinggal, Sayang. Apa lagi yang kau takutkan? Sekarang kau, kembalilah. Lihat, mereka pun merindukanmu.

De Saaie Grind (3)

Duk! Kepalaku terantuk ujung meja. Aku mengucek mata memperjelas penglihatanku. APA?!! Sekarang sudah jam 11!! Aku bergegas merapikan kertas-kertas yang berserakan di atas dan sekitar meja. Aku menarik selembar tissue dan mengelap bagian meja yang sedikit basah karena tumpahan susu cokelat. Aku meraih gelas dan meletakkan di wastafel dapur. Aku berlari ke kamar dan membanting pintu kamar, bergegas mengganti piyama yang kukenakan sekarang dengan pakaian yang lebih pantas, sebuah knit favorit berwarna krem dengan legging hitam. Kusolek wajahku secepatnya, dengan solekan natural. 
Ting...tong... Ah!! Aku mempercepat gerakanku. Ting...tong... Aku berlari keluar kamar menuju pintu depan. Aku berhenti sejenak merapikan degup jantungku. Aku meraih gagang pintu dan membukanya.

Seorang anak kecil, perempuan, usianya sekitar 8 tahun. Aku mengerutkan dahi. Siapa anak kecil ini? Aku melemparkan pandanganku ke sekitar namun tidak kudapati seorangpun kecuali anak ini. Tidak mungkin ia sendirian. Siapa ia? Ada urusan apa ia kemari? Lagipula tidak mungkin ia bisa memencet bel. Aku mencari-cari lagi. Tidak ada. Anak itu hanya memandangiku. Aku balik menatapnya. Cantik. Gaun cokelat. Rambutnya tipis, dikepang berantakan. Sesuatu dibawanya. Aku memusatkan perhatianku pada sesuatu itu. Lalu ia memanjangkan tangannya ke arahku, menyerahkan sesuatu yang dibawanya.
"Ini," katanya, menatapku dengan wajah datar.
"Dari siapa?" aku menyambut tangannya. Belum sempat aku melihatnya, ia berbalik dan berlari keluar halaman rumahku. "Tunggu! Kamu siapa?"
Selembar foto. Di sana ada aku yang sedang duduk dengan mata terpejam yang dipotret dari sisi kanan. Rambutku menari karena angin. Bibirku membentuk lengkungan. Aku memutar otakku kembali. Siapa? Dimana? Kapan? Mengapa? Bagaimana? Apa maksudnya?

Aku masuk dan menutup pintu. Aku duduk dan mengamati foto itu kembali. Tapi, ah, mungkin saja anak kecil tadi itu tetanggaku, yang tidak aku kenal, dan ia menemukan fotoku lalu mengembalikannya. Huuhh... Rasa kantuk tetap saja menyerangku. Padahal tadi sudah tertidur dua jam. Aku menengok melihat jam yang menunjukkan pukul 11.30. Aku menyalakan TV yang hanya aku pindah-pindah salurannya. Otakku berputar.
Foto, gadis kecil, kepangan, cokelat, foto, lari, foto, gadis kecil, lari... Deg! Aku mengerti sekarang! Aku berlari ke kamar mengambil kertas-kertas tadi.

De Saaie Grind (2)

Teruntuk kamu.
Bersama jutaan tetes air yang jatuh dari langit malam ini. Bersama ribuan bintang yang terkalahkan. Bersama angin semilir yang setia menerbangkan sisa-sisa rambut. Bersama segumpal kenangan yang tersimpan di lubuk. Bersama sebongkah kekecewaan yang bercampur harapan. Bersama bayang sesosok kamu yang duduk di sampingku menemani mencipta sebuah jurang kata.
Hanya secuil kata yang ingin kusampaikan. Aku rindu kamu. Itu saja.
Your love,
Stacy

De Saaie Grind (1)

Dentingan lonceng sore ini membawa anganku terhanyut menari seirama dengan lantunan terdengar. Mataku terpejam menikmati bayangan-bayangan yang tercipta. Menari, menari, berputar, melompat, menunduk, menari, terus menari. Sangat indah. Otot-otot bibirku tertarik menciptakan sebuah lengkungan. Manis. Seperti anganku yang menari sekarang. Desiran angin meniup sisa-sisa rambut yang kucepol. Bulu mataku turut melambai bersama angin. Anganku tetap menari. Perlahan ia menelanjangi dirinya. Tarian yang ia buat semakin menjadi-jadi. Dahiku terkernyitkan seketika. Otakku mulai turun tangan. Bibirku perlahan bergerak turun hingga datar. Dentingan lonceng terdengar semakin samar dan HILANG. Pikiranku buyar seketika. Mataku terbuka secara paksa. Ini sangat tidak nyaman.
Aku mengarahkan bola mataku ke kanan, bergerak ke kiri, kemudian kuputar badanku mencari-cari. Tidak kutemukan seorang pun dimana pun. Aku menyandarkan punggungku kembali. Tangan kananku memijat-mijat dahi sementara otakku terus bekerja keras. Aku melemparkan pandanganku ke seluruh sudut ruangan sekali lagi. Ternyata benar. Aku mendengus. Tapi……benda apa itu?! Aku memutar kepalaku ke kanan cepat. Leherku sedikit kumajukan dan mataku kukedip-kedipkan. Mencoba menerka benda apa itu. Ah, mungkin hanya hiasan tempat ini. Aku kembali bersandar dan menekuk lututku. Kuletakkan kepalaku di atas lutut dan tanganku membenarkan cepolan rambutku. Tubuhku lelah. Otakku memaksa otot-ototku agar meregang. Tubuhku semakin lemas. Aku menoleh ke kiri, memusatkan perhatianku ke luar ruangan, tetap dengan posisi sebelumnya. Angin kembali mengajakku bermain dalam permainannya. Aku ingin. Sangat ingin. Namun waktu tidak mengijinkanku. Angin, ijinkan aku menolak ajakanmu untuk kali ini.
Aku meraih benda bulat berwarna cokelat dan memasukkannya ke dalam tasku. Aku berdiri, meraih ponselku, dan melangkahkan kaki meninggalkan tempat itu, tentunya melalui pintu keluar yang terletak di sebelah kanan dari arah dudukku tadi. Sedikit kecewa. Namun dentingan lonceng dan desiran angin yang telah mengajakku bermain dengan tarian cukup membuatku menikmati waktu sia-sia ini.
Benda di meja itu masih menarik perhatianku. Terpaksa aku menghampirinya. Sebuket mawar merah! Indah. Seperti yang selalu aku dapat setiap bulan. Aku mengernyitkan dahi, meraih sebuah catatan kecil di sana. Catatan itu bertuliskan “I’m sorry, this is the last. I love you”. Tubuhku lemas seketika. Catatan itu melayang jatuh ke lantai. Buket mawar pun aku biarkan meluncur dari tangan kiriku. Aku mencoba menopang tubuhku yang tiba-tiba terasa berat. Dan………gelap.