Minggu, 06 Juli 2014

Mari Bergembira

Kali ini tentang aku. Sepertinya aku lelah menciptakan karakter yang kusisipi ceritaku sendiri. Puluhan karakter telah kuciptakan tanpa akhir cerita yang jelas.
Baru saja terpikir bahwa mengapa tidak kuceritakan tentang diriku sendiri saja? Mungkin selama ini aku malu mengatasnamakan diriku sendiri pada cerita-cerita yang kubuat, meskipun tak selamanya nyata kisahku.
Baik, aku akan mulai bercerita tentang diriku sendiri. Tapi bila ada satu atau lebih hal yang kurang berkenan, anggap saja itu bukan aku.

Tadi siang aku mendapat kiriman pesan dari seorang sahabat, Sindy Asta, pencetus #SehariBercerita. Kabarnya dalam waktu dekat ia akan launching buku barunya. Di mana dan kapan? Rahasia!
Ia memintaku untuk turut berkontribusi dengan suara serta genjrengan tipisku. Tentu saja aku sangat gembira.
Bicara soal gembira, aku, Sindy, dan geng kami semasa SMA dahulu, kami adalah geng cewek IPA kelas kakap. Kami pernah bolos ramai-ramai ke sebuah kafe ternama di masanya. Kafe tersebut memang tongkrongan anak bolos. Kami berfoto ria di depan cermin.
Suatu hari, pada hari ulang tahun Sindy, karena kami hanya memiliki uang sedikit (tanggal tua), kami membeli sesuatu di kafe tersebut. Namanya SOSIS GEMBIRA, yaitu sosis goreng yang dibalut kriuk berwujud parutan (seperti rambut). Bisa dibayangkan sendiri.
Sampai sekarang, bahkan sudah lama kafe itu dibongkar, SOSIS GEMBIRA tetap menjadi makanan favorit kami.

6 Juli 2014.
Tentang kalian para sahabat gembiraku.
Ditulis dalam rangka turut memeriahkan hari kedelapan #SehariBercerita.
Backsong: Tasya – Libur T’lah Tiba.

Kedai Ujung Jalan, Green Tea, dan Sepotong Kertas dari Meja Sebelah

Tempat ini lagi. Sudut ini lagi.
Kacamataku yang melorot mengundang perhatian lelaki di meja sebelah. Ia seolah ingin membetulkan letak kacamataku.
Aku sendirian. Iapun.
Segelas green tea, bukan green tea latte, yang aku pesan belum datang juga. Di hadapannya, lelaki itu, secangkir kopi hitam pekat.
Kegiatanku yang seperti ini, duduk diam di sebuah kedai, dengan memesan minuman, tak jarang ditambah makanan kecil, selalu kusebut ngopi, padahal aku hampir tak pernah memesan kopi. Aku suka cokelat dan teh. Aku tak suka yang rasa-rasa, juga kopi. Bukan, bukan tak suka kopi, aku hanya sedikit tak suka pahit. Tapi aku pernah, kok, memesan kopi.
Aku mengamati pagar yang berada tepat di depanku. Pagar itu membawaku hanyut ke dalam lamunan panjang, hingga pesananku datang.
“Dewean?” tanya mas pengantar minuman. (Artinya: sendirian?)
Iyo, Mas.” Jawabku sambil tersenyum penuh damai. (Artinya: iya, Mas.)
Mas itu seakan mengerti bahwa aku tak ingin diganggu, ia kembali ke balik meja kerjanya.
Aku menyeruput green tea pesananku yang sebelumnya kuaduk terlebih dahulu. Rasanya masih sama seperti dulu. Dulu, sore hari, di meja ini, dan minuman ini, kami berdua sedang bingung bagaimana dapat meninggalkan tempat itu sementara hujan deras mengguyur.
Kini tak ada lagi dia, juga hujan deras itu, bahkan kebingungan. Aku melihat kendaraan lalu-lalang di depan pandanganku. Terkadang tegang karena melihat kendaraan yang nyaris bertabrakan.
Lelaki di meja sebelah terus saja memperhatikanku. Ia tidak tersenyum. Ia tidak mengerutkan dahi. Ia tidak bermain mata. Ia biasa saja. Ia melihatku dengan datar. Aku tahu dari sudut mataku. Aku tak berani membalas tatapannya.
Aku kembali terhanyut dalam lamunan. Tentang kenangan-kenangan yang tersimpan dalam kedai ini. Tentang bahagia bahkan perihnya kenangan itu.
Pengunjung lain datang dan pergi, sementara aku hanya diam dan tak ingin meninggalkan tempat itu.
Tiba-tiba ponselku bergetar. Aku tersadar dari lamunan teramat panjangku. Sebelum mengambil ponsel di dalam tas kecilku, aku mendapati sepotong kertas kecil di bawah gelas minumanku. Aku menoleh pada meja sebelah dan kosong. Bahkan mejanya pun bersih.
Aku mengambil kertas tersebut, membaca tulisan di atasnya. Aku tersenyum lebar.
Aku tak menghiraukan ponselku yang terus bergetar. Aku cepat-cepat bangkit dan bergegas ke meja kasir untuk membayar, lalu meninggalkan kedai dengan terus menggenggam potongan kertas tadi.

5 Juli 2014.
Tentang siapapun yang menyimpan berjuta kenangan di kedai ujung jalan itu.
Ditulis dalam rangka turut memeriahkan hari ketujuh #SehariBercerita.

Backsong: Lights.

19

Satu. Lelaki.
Dua. Tinggi.
Tiga. Brewok.
Empat. Kacamata hitam.
Lima. Gitar kuning.
Enam. Celana tiga per empat.
Tujuh. Batak.
Delapan. Sulung.
Sembilan. Lovable.
Sepuluh. Misterius.
Sebelas. Reply, not retweet.
Dua belas. Pecel.
Tiga belas. Bakso.
Empat belas. Kalung.
Lima belas. Hilang.
Enam belas. Tulisan tangan.
Tujuh belas. Sudah tunangan.
Delapan belas. Empat bulan lagi menikah.
Sembilan belas. Kratak.

4 Juli 2014.
Tentang yang di sana. Nggak usah di-cc-in.
Ditulis dalam rangka turut memeriahkan hari keenam #SehariBercerita.

Backsong: Bon Iver – Perth.

Cello Cella 2

“Cella, masih ingat dengan saya?” aku mengerutkan dahi, mencoba mengingat. Ah! Aku ingat! Belum sempat aku mengangguk, ia melanjutkan bicaranya. “Saya Edi.” Aku mengangguk cepat sambil tersenyum.
Ia melanjutkan lagi bicaranya. “Kamu bisa bermain pianika, kan?” Aku mengangguk antusias. Aku sudah mengerti apa maksud pembicaraan ini. “Mau bergabung dengan proyek saya? Aliran kita, kok.” Tanpa basa-basi (karena memang aku tak pandai bahkan tak bisa basa-basi), aku menyetujuinya.
Obrolan kami lanjutkan melalui pesan karena sama-sama dikejar waktu. Mungkin juga agar ia lebih mudah mengobrol denganku. Ia tahu aku bisu.
Ia adalah mantan kekasih dari sahabatku sejak SMA. Ia tak jarang menyaksikan penampilanku bersama bandku. Dulu aku seorang pemain keyboard. Bulan demi bulan, aku mengundurkan diri karena aku merasa tak semakin nyaman pada aliran musik bahkan anggota lainnya.
Seiring berjalannya waktu, aku menemukan jati diriku dalam hal musik. Aku jatuh cinta setiap hari pada musik folk. Hari-hariku dipenuhi tentangnya. Aku sering hadir dalam acara musik ini di kotaku, bahkan kota sebelah, di tengah-tengah kesibukanku sebagai seorang cook helper di sebuah toko roti.
Acara di kota sebelah waktu itu. Terpaksa aku mengingatnya lagi. Pemain cello itu. Akhirnya aku dapat berkenalan langsung dengannya di sana. Ia yang memanggilku. Ia mengenalkan dirinya. Aku diam. Mungkin ia berpikir aku terlalu terpana sehingga tak berbicara sedikitpun waktu itu.
Aku tak tahu, ia tahu atau tidak tentang aku yang sebenarnya bisu. Kami masih saling berkirim pesan. Setiap ia meneleponku, aku mencari-cari alasan. Aku tak ingin ia tahu. Aku malu.
Sebenarnya aku tak terlalu sibuk, karena aku hanya bekerja setengah hari. Sisanya, aku habiskan dengan membaca buku, menulis surat, bersepeda, menghadiri berbagai acara santai di kotaku. Aku tidak selalu sendiri. Kadang-kadang Jule menemaniku.
Jule. Perempuan bertubuh kurus kerempeng. Berambut lebih pendek dariku. Tingginya sekitar 5 sentimeter di atasku. Kulitnya lebih putih dariku. Bibirnya selalu merah. Yang jelas ia tak bisu sepertiku.
Aku menemukan makhluk sempurnya sepertinya di sebuah kafe. Saat itu aku datang sendirian. Tak ada meja kosong. Aku melihat kursi kosong di depan Jule dan temannya. Aku menghampiri, memberi isyarat dengan menunjuk kursi kosong tersebut. Ia sepertinya tahu aku bisu. Ia mempersilakanku.
Kami mengobrol walaupun ia tak mengerti apa yang aku katakan dengan bahasa isyaratku. Sejak itu, kami sering bertemu dengan sengaja.
“Jule, kapan kau libur?” tanyaku dengan bahasa isyaratku.
“Lusa saya dapat libur selama dua hari,” jawabnya sambil kembali ke layar di depannya.
“Minggu ini saya libur. Kamu bisa temani saya ke Yogya? Kita berangkat besok sepulang kerja. Bagaimana?” aku menepuk bahunya sebelumnya, agar dia melihatku.
“Cella, deadline saya bagaimana?” ia kebingungan.
“Tenang saja, kau bisa menyelesaikannya di sana. Kita hanya pergi tiga jam, selebihnya di kamar saja. Saya hanya ingin melihat Bejo,” jawabku sambil terkekeh.
Jule merespon dengan sumringah dan semangat. Ia menutup laptop dan bangkit untuk berganti pakaian. Aku tak paham dengan antusiasnya itu.
“Mau ke mana, Jule?”
“Cepatlah ganti pakaianmu! Kita ke stasiun, beli tiket.”
Untungnya ini bukan hari libur. Kami masih dapat kursi. Aku grogi. Jantungku berdetak cepat. Darahku mengalir deras. Pikiranku sulit membayangkan bagaimana pertemuan kami nanti. Bagaimana bila dia tahu kalau aku bisu?
“Jule, menurutmu apakah saya harus memberitahunya bahwa kita akan datang?”
“Jangan! Biarkan ia terkejut dengan kehadiranmu,” kata Jule dilanjutkan tawa kecilnya. Aku menurut.
Aku hanya takut ia akhirnya tahu tentang diriku yang tak bisa berbicara. Ia pasti akan kecewa. Ia pasti malu berteman denganku. Ia pasti tak akan mengenaliku lagi bila bertemu kembali. Bukankah semua manusia seperti itu? Seorang teman seperti Jule hanyalah bonus. Ah, sudah, tak apa. Aku siap melihatnya memunggungiku.

3 Juli 2014.
Lanjutan Cello Cella.
Ditulis dalam rangka turut memeriahkan hari kelima #SehariBercerita.

Backsong: Two Door Cinema Club.

Beribu Rabu

Kicau burung. Pohon besar. Langit biru. Deras sungai.
Tidak lagi tentang riuh berisik bising kerumunan.
Aku ingin sekali ke sana.
Bahkan tak hanya sekali.
Mencium harumnya ilalang.
Memeluk erat dan mencium pohon besar.
Mendengar nyanyian burung diiringi suara derasnya air sungai.
Menyaksikan kupu-kupu menari di udara.
Menyamakan kecantikan dengan bunga.
Mengajarkan putri malu untuk percaya diri.
Sampai aku lelah dan tertidur di rerumputan basah.
Tanah yang wangi.
Dan aku terkubur di dalamnya.
Kamu, kalian semua, tidak ada yang boleh membuntutiku!

2 Juli 2014.
Tentang Rabu yang ingin.
Ditulis dalam rangka turut memeriahkan hari keempat #SehariBercerita.
Backsong: The Bird and The Bee – La La La

Tenang Saja

Hitam gelap terselingkuhi biru harum pagi.
Gulungan ombak memaksaku memutar memoriku.
Kau sehat?
Masih ingat denganku?
Aku, kekasihmu dulu.
Kau tak akan pernah berhasil melupakanku.
Berapa ribu hari sudah kita tak saling bertemu?
Pantai ini, ingat?
Setidaknya pantai ini pernah bosan akan kedatangan kita.
Siapa kekasihmu sekarang?
Bagaimana kuliahmu?
Sepertinya kau kurusan.
Kau tak sehat.
Apa kenangan tentangku yang membuatmu tak sehat?
Hei, sudah lima tahun.
Kau masih belum bisa melupakanku?
Oh, jelas saja.
Kesalahanmu padaku sebesar gunung.
Bila kau berhasil melupakanku, kau jahat.
Aku bertanya, siapa kekasihmu sekarang?
Jawab aku!
Pecundang!
Jadi, siapa yang akan kau nikahi?
Jangan, jangan aku.
Lihat ombak itu, apa kau tak lihat sedari tadi ia marah melihatmu?
Bahkan pohon-pohonpun layu hari ini.
Tapi, tenang saja.
Aku hanya akan berterima kasih padamu.
Terima kasih telah membuka mataku bahwa hidup tak harus terpaku pada satu lelaki, yaitu kau.
Kau bahagia sekarang?

1 Juli 2014.
Tentang seorang pecundang.
Ditulis dalam rangka turut memeriahkan hari ketiga #SehariBercerita.
Backsong: Daughter.

Senin, 30 Juni 2014

Untuk Si Pembenci Laba-laba

Langit biru dengan gumpalan kapas menghiasinya. Indah, seperti ceritaku dengannya.
Aku teringat akan seorang pemuda pembenci laba-laba. Seorang yang mengajariku beberapa hal yang sebelumnya belum aku ketahui, termasuk bahwa green tea dan green tea latte adalah beda. Seorang yang di manapun kami bermain dengan waktu, berkomentar tentang racikan setiap minuman yang kami pesan. Seorang yang membawaku lari dari kesedihan, waktu itu.
Aku lupa-lupa ingat momen pertama kali kami bertemu. Yang aku ingat kami berkenalan di sebuah aplikasi berkirim pesan yang dilengkapi dengan stiker-stiker lucu. Saat itu aku sedang menghadiri sebuah acara di kota sebelah, sebuah festival musik folk. (lagi-lagi jadi teringat tentang pemain cello itu)
Hari pertama tidak begitu menggodaku, tapi aku hadir. Aku menonton dari sebuah kafe di samping panggung. Badanku lemas. Aku tenggelam dalam percakapanku dengannya, di ponsel. Itulah kali pertama kami berkenalan.
Sepulangku ke kotaku, kami bertemu, bertukar cerita, berbagi tawa, begitupun hari-hari berikutnya. Tanpa sadar pertemuan kami mencapai level berlebihan. Ia mengantar-jemputku kuliah (padahal aku bisa sendiri), mengajak makan siang (plus membayar), mengantar ke toko buku, menghabiskan sore di kedai kopi, hingga membawakan makanan sepulang ia bekerja.
Ia benci laba-laba. Ia bahkan pernah tak berani melewati pintu kamarnya karena ada seekor laba-laba kecil. Ia juga tak suka pedas. Katanya, ia akan bingung seperti kera apabila mengecap rasa pedas sedikit saja. Aku selalu tertawa membayangkannya.
Ia pernah memberikanku sebuah pancake bertuliskan “Sorry” di atasnya, buatannya sendiri. Aku selalu suka melihat ia yang salah tingkah akibat candaan teman atau apabila aku sedikit menggodanya. Kami pernah tersesat mencari jalan pulang. Saat itu hujan rintik-rintik. Ia menggenggam tangan mungilku yang dingin bak es. Hari itu pertama kalinya ia berani menggenggam tanganku.
Tak terasa semakin lama waktu yang kami habiskan bersama. Senang? Aku senang. Bahagia? Aku bahagia. Ternyata masih ada yang tulus ingin berteman denganku, pikirku. Hingga suatu hari aku berhadapan dengan sesuatu yang membuatnya enggan lagi berteman denganku. Enggan, karena telah terbersit tujuan berbeda olehnya. Ternyata pikiranku salah. Bukan, yang ia inginkan bukanlah sekedar teman.
Ah, tapi aku tak pernah menyalahkannya, karena cerita kami terlalu indah.

Berhenti mengutuki dirimu. Bukan kau yang salah, tapi aku. Seharusnya aku tak sebegitunya tenggelam dalam zona nyamanku. Peluk hangat untukmu, Teman.

30 Juni 2014.
Tentang pembenci laba-laba.
Ditulis dalam rangka turut memeriahkan hari kedua #SehariBercerita.
Backsong: The Head and the Heart.

Minggu, 29 Juni 2014

Cello Cella

Harus berapa kali lagi aku menyerukan namanya? Tak terhitung dan tak ingin kuhitung banyak namanya kuserukan di hadapannya, bersama puluhan manusia cerdas lainnya. Cerdas memilih musik cerdas.
    “Terima kasih telah mengundang kami ke acara sekeren ini. Terima kasih banyak. Sukses untuk kalian semua. I love you!” kata-kata terakhir sebelum mereka menutup penampilan dengan lagu terakhir.
    Untuk grup yang satu ini, aku tak pernah berdiri tepat di tengah, meskipun selalu berada pada barisan terdepan. Aku memilih berada di sayap kiri. Aku memilih sisi posisi pemain cello kesenanganku. Aku selalu menyerukan namanya. Entah ia sadar atau tidak dengan keantusiasanku. Karena aku telah ribuan kali menyerukan namanya, dalam hati.
    Apalah aku ini, seorang pengagum yang tak dapat menunjukkan kekagumanku. Bahkan ia sepertinya untuk mengintipku sedikit saja dari sela-sela rambut panjangnya, tak mungkin. Ia terlalu tenggelam dalam alunan musik yang ia mainkan, berpadu dengan yang lain menjadi sebuah karya yang indah. Tak jarang aku menitikkan air mata diam-diam. Jangan sampai yang lain tahu.
    Sebentar lagi lagu terakhir ini usai. Ah, rasanya sedih. Kapan lagi aku dapat memandanginya sedekat ini? Ini kedua kalinya aku menyaksikan pentasnya meskipun aku sudah mengenal musik mereka jauh sebelum akhirnya aku dapat menyaksikan langsung. Aku selalu suka cara mereka mengakhiri pentas mereka, yaitu dengan meninggalkan panggung satu persatu sementara yang lain tetap memainkan alatnya, hingga kosong.
    Tiba saatnya mereka mengakhiri pentas malam ini. Satu persatu, hingga kosong. Aku selalu merasa ada yang hilang ketika mereka meninggalkan panggung. Baru saja aku merasakan kedamaian dan kebahagiaan atas karya mereka, harus cepat-cepat diakhiri. Rasanya aku ingin turut ke manapun mereka pergi.
    Kerumunan di belakangku sibuk membubarkan diri. Aku berbalik badan dan mengelap kacamataku dengan kaos yang aku pakai. Tiba-tiba......
    “Hei!” terdengar seorang lelaki memanggil dari panggung yang telah gelap. Entah siapa yang dipanggilnya. Aku tak menggubris.
    “Hei! Wanita berambut pendek! Kacamata!” aku menoleh spontan. Jantungku berdegup cepat. Pemain cello kesenanganku! Ia memberiku isyarat agar mendekat. Dengan langkah terbata, aku kembali mendekat ke panggung. Sementara penonton lain berangsur meninggalkan lokasi.
    Dengan senyum lebar ia menyodorkan tangan kanannya. “Bejo,” katanya. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum malu.
    “Sendirian?” aku mengangguk lagi.
  “Boleh saya pinjam ponselnya?” dengan cepat aku membuka tas kecilku, mengambil ponsel, dan memberikan pada Bejo.
    Beberapa saat kemudian, ia mengembalikan ponselku. “Terima kasih. Hati-hati di jalan. Sampai jumpa lagi.” Ia mengacak rambutku. Aku berlalu meninggalkan tempat itu.
    Apa itu tadi? Apa aku sedang mimpi? Bejo... Mengapa aku? Mengapa tidak yang lain? Apa dia seperti ini, berkenalan dengan siapa saja yang ia ingin di setiap akhir pentasnya? Ah, tiba-tiba saja antusiasku berbalik arah. Seharusnya aku senang. Rasa curigaku yang selalu merubah suasana. Juga rasa minder.
    Dalam perjalanan pulang aku mengutuki diriku sendiri, berusaha menyadarkan diri bahwa apa yang baru saja terjadi itu tidak pantas. Ia tidak tahu....
    Drrrrtt....
From Bejo
Sudah tiba? Senang berkenalan denganmu. Tapi kamu bahkan belum menyebutkan namamu. Boleh saya tahu?
   Apa kamu tahu bahwa aku mengagumimu sejak lama? Bahkan jauh sebelum kita pertama bertemu. Apalah aku ini, seorang yang bahkan mungkin baru kau perhatikan hari ini, padahal aku telah berdiri di depanmu beberapa kali.
     Perasaanku membuncah. Bahagia, amarah, sedih, curiga, senang, semuanya bercampur jadi satu.
Reply to Bejo
Namaku Cella. Terima kasih, Bejo. Malam ini kamu lebih keren dari malam-malam sebelumnya.
    Mungkin hanya dengan cara ini aku dapat mengobrol dengannya. Bahkan mungkin malam ini terakhir kalinya aku berani berdiri tepat di hadapannya. Aku hanya akan menjadi pengagumnya dari kejauhan. Atau aku tidak akan pernah lagi mengobrol dengannya, bahkan hanya dengan pesan singkat seperti sekarang.


29 Juni 2014.
Sebenarnya ini (masih) tentang pemain cello itu (lihat postingan sebelum ini).
Ditulis dalam rangka turut memeriahkan hari pertama #SehariBercerita.
Backsong: Camera Obscura.