Senin, 30 Juni 2014

Untuk Si Pembenci Laba-laba

Langit biru dengan gumpalan kapas menghiasinya. Indah, seperti ceritaku dengannya.
Aku teringat akan seorang pemuda pembenci laba-laba. Seorang yang mengajariku beberapa hal yang sebelumnya belum aku ketahui, termasuk bahwa green tea dan green tea latte adalah beda. Seorang yang di manapun kami bermain dengan waktu, berkomentar tentang racikan setiap minuman yang kami pesan. Seorang yang membawaku lari dari kesedihan, waktu itu.
Aku lupa-lupa ingat momen pertama kali kami bertemu. Yang aku ingat kami berkenalan di sebuah aplikasi berkirim pesan yang dilengkapi dengan stiker-stiker lucu. Saat itu aku sedang menghadiri sebuah acara di kota sebelah, sebuah festival musik folk. (lagi-lagi jadi teringat tentang pemain cello itu)
Hari pertama tidak begitu menggodaku, tapi aku hadir. Aku menonton dari sebuah kafe di samping panggung. Badanku lemas. Aku tenggelam dalam percakapanku dengannya, di ponsel. Itulah kali pertama kami berkenalan.
Sepulangku ke kotaku, kami bertemu, bertukar cerita, berbagi tawa, begitupun hari-hari berikutnya. Tanpa sadar pertemuan kami mencapai level berlebihan. Ia mengantar-jemputku kuliah (padahal aku bisa sendiri), mengajak makan siang (plus membayar), mengantar ke toko buku, menghabiskan sore di kedai kopi, hingga membawakan makanan sepulang ia bekerja.
Ia benci laba-laba. Ia bahkan pernah tak berani melewati pintu kamarnya karena ada seekor laba-laba kecil. Ia juga tak suka pedas. Katanya, ia akan bingung seperti kera apabila mengecap rasa pedas sedikit saja. Aku selalu tertawa membayangkannya.
Ia pernah memberikanku sebuah pancake bertuliskan “Sorry” di atasnya, buatannya sendiri. Aku selalu suka melihat ia yang salah tingkah akibat candaan teman atau apabila aku sedikit menggodanya. Kami pernah tersesat mencari jalan pulang. Saat itu hujan rintik-rintik. Ia menggenggam tangan mungilku yang dingin bak es. Hari itu pertama kalinya ia berani menggenggam tanganku.
Tak terasa semakin lama waktu yang kami habiskan bersama. Senang? Aku senang. Bahagia? Aku bahagia. Ternyata masih ada yang tulus ingin berteman denganku, pikirku. Hingga suatu hari aku berhadapan dengan sesuatu yang membuatnya enggan lagi berteman denganku. Enggan, karena telah terbersit tujuan berbeda olehnya. Ternyata pikiranku salah. Bukan, yang ia inginkan bukanlah sekedar teman.
Ah, tapi aku tak pernah menyalahkannya, karena cerita kami terlalu indah.

Berhenti mengutuki dirimu. Bukan kau yang salah, tapi aku. Seharusnya aku tak sebegitunya tenggelam dalam zona nyamanku. Peluk hangat untukmu, Teman.

30 Juni 2014.
Tentang pembenci laba-laba.
Ditulis dalam rangka turut memeriahkan hari kedua #SehariBercerita.
Backsong: The Head and the Heart.

Minggu, 29 Juni 2014

Cello Cella

Harus berapa kali lagi aku menyerukan namanya? Tak terhitung dan tak ingin kuhitung banyak namanya kuserukan di hadapannya, bersama puluhan manusia cerdas lainnya. Cerdas memilih musik cerdas.
    “Terima kasih telah mengundang kami ke acara sekeren ini. Terima kasih banyak. Sukses untuk kalian semua. I love you!” kata-kata terakhir sebelum mereka menutup penampilan dengan lagu terakhir.
    Untuk grup yang satu ini, aku tak pernah berdiri tepat di tengah, meskipun selalu berada pada barisan terdepan. Aku memilih berada di sayap kiri. Aku memilih sisi posisi pemain cello kesenanganku. Aku selalu menyerukan namanya. Entah ia sadar atau tidak dengan keantusiasanku. Karena aku telah ribuan kali menyerukan namanya, dalam hati.
    Apalah aku ini, seorang pengagum yang tak dapat menunjukkan kekagumanku. Bahkan ia sepertinya untuk mengintipku sedikit saja dari sela-sela rambut panjangnya, tak mungkin. Ia terlalu tenggelam dalam alunan musik yang ia mainkan, berpadu dengan yang lain menjadi sebuah karya yang indah. Tak jarang aku menitikkan air mata diam-diam. Jangan sampai yang lain tahu.
    Sebentar lagi lagu terakhir ini usai. Ah, rasanya sedih. Kapan lagi aku dapat memandanginya sedekat ini? Ini kedua kalinya aku menyaksikan pentasnya meskipun aku sudah mengenal musik mereka jauh sebelum akhirnya aku dapat menyaksikan langsung. Aku selalu suka cara mereka mengakhiri pentas mereka, yaitu dengan meninggalkan panggung satu persatu sementara yang lain tetap memainkan alatnya, hingga kosong.
    Tiba saatnya mereka mengakhiri pentas malam ini. Satu persatu, hingga kosong. Aku selalu merasa ada yang hilang ketika mereka meninggalkan panggung. Baru saja aku merasakan kedamaian dan kebahagiaan atas karya mereka, harus cepat-cepat diakhiri. Rasanya aku ingin turut ke manapun mereka pergi.
    Kerumunan di belakangku sibuk membubarkan diri. Aku berbalik badan dan mengelap kacamataku dengan kaos yang aku pakai. Tiba-tiba......
    “Hei!” terdengar seorang lelaki memanggil dari panggung yang telah gelap. Entah siapa yang dipanggilnya. Aku tak menggubris.
    “Hei! Wanita berambut pendek! Kacamata!” aku menoleh spontan. Jantungku berdegup cepat. Pemain cello kesenanganku! Ia memberiku isyarat agar mendekat. Dengan langkah terbata, aku kembali mendekat ke panggung. Sementara penonton lain berangsur meninggalkan lokasi.
    Dengan senyum lebar ia menyodorkan tangan kanannya. “Bejo,” katanya. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum malu.
    “Sendirian?” aku mengangguk lagi.
  “Boleh saya pinjam ponselnya?” dengan cepat aku membuka tas kecilku, mengambil ponsel, dan memberikan pada Bejo.
    Beberapa saat kemudian, ia mengembalikan ponselku. “Terima kasih. Hati-hati di jalan. Sampai jumpa lagi.” Ia mengacak rambutku. Aku berlalu meninggalkan tempat itu.
    Apa itu tadi? Apa aku sedang mimpi? Bejo... Mengapa aku? Mengapa tidak yang lain? Apa dia seperti ini, berkenalan dengan siapa saja yang ia ingin di setiap akhir pentasnya? Ah, tiba-tiba saja antusiasku berbalik arah. Seharusnya aku senang. Rasa curigaku yang selalu merubah suasana. Juga rasa minder.
    Dalam perjalanan pulang aku mengutuki diriku sendiri, berusaha menyadarkan diri bahwa apa yang baru saja terjadi itu tidak pantas. Ia tidak tahu....
    Drrrrtt....
From Bejo
Sudah tiba? Senang berkenalan denganmu. Tapi kamu bahkan belum menyebutkan namamu. Boleh saya tahu?
   Apa kamu tahu bahwa aku mengagumimu sejak lama? Bahkan jauh sebelum kita pertama bertemu. Apalah aku ini, seorang yang bahkan mungkin baru kau perhatikan hari ini, padahal aku telah berdiri di depanmu beberapa kali.
     Perasaanku membuncah. Bahagia, amarah, sedih, curiga, senang, semuanya bercampur jadi satu.
Reply to Bejo
Namaku Cella. Terima kasih, Bejo. Malam ini kamu lebih keren dari malam-malam sebelumnya.
    Mungkin hanya dengan cara ini aku dapat mengobrol dengannya. Bahkan mungkin malam ini terakhir kalinya aku berani berdiri tepat di hadapannya. Aku hanya akan menjadi pengagumnya dari kejauhan. Atau aku tidak akan pernah lagi mengobrol dengannya, bahkan hanya dengan pesan singkat seperti sekarang.


29 Juni 2014.
Sebenarnya ini (masih) tentang pemain cello itu (lihat postingan sebelum ini).
Ditulis dalam rangka turut memeriahkan hari pertama #SehariBercerita.
Backsong: Camera Obscura.