“Cella, masih
ingat dengan saya?” aku mengerutkan dahi, mencoba mengingat. Ah! Aku ingat!
Belum sempat aku mengangguk, ia melanjutkan bicaranya. “Saya Edi.” Aku
mengangguk cepat sambil tersenyum.
Ia melanjutkan
lagi bicaranya. “Kamu bisa bermain pianika, kan?” Aku mengangguk antusias. Aku
sudah mengerti apa maksud pembicaraan ini. “Mau bergabung dengan proyek saya?
Aliran kita, kok.” Tanpa basa-basi (karena memang aku tak pandai bahkan tak
bisa basa-basi), aku menyetujuinya.
Obrolan kami
lanjutkan melalui pesan karena sama-sama dikejar waktu. Mungkin juga agar ia
lebih mudah mengobrol denganku. Ia tahu aku bisu.
Ia adalah mantan
kekasih dari sahabatku sejak SMA. Ia tak jarang menyaksikan penampilanku
bersama bandku. Dulu aku seorang pemain keyboard.
Bulan demi bulan, aku mengundurkan diri karena aku merasa tak semakin
nyaman pada aliran musik bahkan anggota lainnya.
Seiring
berjalannya waktu, aku menemukan jati diriku dalam hal musik. Aku jatuh cinta
setiap hari pada musik folk. Hari-hariku dipenuhi tentangnya. Aku sering hadir
dalam acara musik ini di kotaku, bahkan kota sebelah, di tengah-tengah
kesibukanku sebagai seorang cook helper
di sebuah toko roti.
Acara di kota
sebelah waktu itu. Terpaksa aku mengingatnya lagi. Pemain cello itu. Akhirnya
aku dapat berkenalan langsung dengannya di sana. Ia yang memanggilku. Ia
mengenalkan dirinya. Aku diam. Mungkin ia berpikir aku terlalu terpana sehingga
tak berbicara sedikitpun waktu itu.
Aku tak tahu, ia
tahu atau tidak tentang aku yang sebenarnya bisu. Kami masih saling berkirim
pesan. Setiap ia meneleponku, aku mencari-cari alasan. Aku tak ingin ia tahu.
Aku malu.
Sebenarnya aku
tak terlalu sibuk, karena aku hanya bekerja setengah hari. Sisanya, aku habiskan
dengan membaca buku, menulis surat, bersepeda, menghadiri berbagai acara santai
di kotaku. Aku tidak selalu sendiri. Kadang-kadang Jule menemaniku.
Jule. Perempuan
bertubuh kurus kerempeng. Berambut lebih pendek dariku. Tingginya sekitar 5
sentimeter di atasku. Kulitnya lebih putih dariku. Bibirnya selalu merah. Yang
jelas ia tak bisu sepertiku.
Aku menemukan
makhluk sempurnya sepertinya di sebuah kafe. Saat itu aku datang sendirian. Tak
ada meja kosong. Aku melihat kursi kosong di depan Jule dan temannya. Aku
menghampiri, memberi isyarat dengan menunjuk kursi kosong tersebut. Ia
sepertinya tahu aku bisu. Ia mempersilakanku.
Kami mengobrol
walaupun ia tak mengerti apa yang aku katakan dengan bahasa isyaratku. Sejak
itu, kami sering bertemu dengan sengaja.
“Jule,
kapan kau libur?” tanyaku dengan bahasa isyaratku.
“Lusa
saya dapat libur selama dua hari,” jawabnya sambil kembali ke layar di
depannya.
“Minggu
ini saya libur. Kamu bisa temani saya ke Yogya? Kita berangkat besok sepulang
kerja. Bagaimana?” aku menepuk bahunya sebelumnya, agar dia melihatku.
“Cella,
deadline saya bagaimana?” ia
kebingungan.
“Tenang
saja, kau bisa menyelesaikannya di sana. Kita hanya pergi tiga jam, selebihnya
di kamar saja. Saya hanya ingin melihat Bejo,” jawabku sambil terkekeh.
Jule
merespon dengan sumringah dan semangat. Ia menutup laptop dan bangkit untuk berganti pakaian. Aku tak paham dengan
antusiasnya itu.
“Mau
ke mana, Jule?”
“Cepatlah
ganti pakaianmu! Kita ke stasiun, beli tiket.”
Untungnya
ini bukan hari libur. Kami masih dapat kursi. Aku grogi. Jantungku berdetak
cepat. Darahku mengalir deras. Pikiranku sulit membayangkan bagaimana pertemuan
kami nanti. Bagaimana bila dia tahu kalau aku bisu?
“Jule,
menurutmu apakah saya harus memberitahunya bahwa kita akan datang?”
“Jangan!
Biarkan ia terkejut dengan kehadiranmu,” kata Jule dilanjutkan tawa kecilnya.
Aku menurut.
Aku
hanya takut ia akhirnya tahu tentang diriku yang tak bisa berbicara. Ia pasti
akan kecewa. Ia pasti malu berteman denganku. Ia pasti tak akan mengenaliku lagi
bila bertemu kembali. Bukankah semua manusia seperti itu? Seorang teman seperti
Jule hanyalah bonus. Ah, sudah, tak apa. Aku siap melihatnya memunggungiku.
3
Juli 2014.
Lanjutan
Cello Cella.
Ditulis
dalam rangka turut memeriahkan hari kelima #SehariBercerita.
Backsong:
Two Door Cinema Club.