Harus berapa
kali lagi aku menyerukan namanya? Tak terhitung dan tak ingin kuhitung banyak
namanya kuserukan di hadapannya, bersama puluhan manusia cerdas lainnya. Cerdas
memilih musik cerdas.
“Terima kasih telah mengundang
kami ke acara sekeren ini. Terima kasih banyak. Sukses untuk kalian semua. I
love you!” kata-kata terakhir sebelum mereka menutup penampilan dengan lagu terakhir.
Untuk grup yang satu ini, aku
tak pernah berdiri tepat di tengah, meskipun selalu berada pada barisan
terdepan. Aku memilih berada di sayap kiri. Aku memilih sisi posisi pemain
cello kesenanganku. Aku selalu menyerukan namanya. Entah ia sadar atau tidak
dengan keantusiasanku. Karena aku telah ribuan kali menyerukan namanya, dalam
hati.
Apalah aku ini, seorang pengagum
yang tak dapat menunjukkan kekagumanku. Bahkan ia sepertinya untuk mengintipku
sedikit saja dari sela-sela rambut panjangnya, tak mungkin. Ia terlalu
tenggelam dalam alunan musik yang ia mainkan, berpadu dengan yang lain menjadi
sebuah karya yang indah. Tak jarang aku menitikkan air mata diam-diam. Jangan
sampai yang lain tahu.
Sebentar lagi lagu terakhir ini
usai. Ah, rasanya sedih. Kapan lagi aku dapat memandanginya sedekat ini? Ini
kedua kalinya aku menyaksikan pentasnya meskipun aku sudah mengenal musik
mereka jauh sebelum akhirnya aku dapat menyaksikan langsung. Aku selalu suka
cara mereka mengakhiri pentas mereka, yaitu dengan meninggalkan panggung satu
persatu sementara yang lain tetap memainkan alatnya, hingga kosong.
Tiba saatnya mereka mengakhiri
pentas malam ini. Satu persatu, hingga kosong. Aku selalu merasa ada yang
hilang ketika mereka meninggalkan panggung. Baru saja aku merasakan kedamaian
dan kebahagiaan atas karya mereka, harus cepat-cepat diakhiri. Rasanya aku
ingin turut ke manapun mereka pergi.
Kerumunan di belakangku sibuk
membubarkan diri. Aku berbalik badan dan mengelap kacamataku dengan kaos yang
aku pakai. Tiba-tiba......
“Hei!” terdengar seorang lelaki
memanggil dari panggung yang telah gelap. Entah siapa yang dipanggilnya. Aku
tak menggubris.
“Hei! Wanita berambut pendek!
Kacamata!” aku menoleh spontan. Jantungku berdegup cepat. Pemain cello
kesenanganku! Ia memberiku isyarat agar mendekat. Dengan langkah terbata, aku
kembali mendekat ke panggung. Sementara penonton lain berangsur meninggalkan
lokasi.
Dengan senyum lebar ia
menyodorkan tangan kanannya. “Bejo,” katanya. Aku hanya mengangguk sambil
tersenyum malu.
“Sendirian?” aku mengangguk
lagi.
“Boleh saya pinjam ponselnya?”
dengan cepat aku membuka tas kecilku, mengambil ponsel, dan memberikan pada
Bejo.
Beberapa saat kemudian, ia
mengembalikan ponselku. “Terima kasih. Hati-hati di jalan. Sampai jumpa lagi.”
Ia mengacak rambutku. Aku berlalu meninggalkan tempat itu.
Apa itu tadi? Apa aku sedang mimpi? Bejo... Mengapa aku? Mengapa tidak
yang lain? Apa dia seperti ini, berkenalan dengan siapa saja yang ia ingin di
setiap akhir pentasnya? Ah, tiba-tiba saja antusiasku berbalik arah.
Seharusnya aku senang. Rasa curigaku yang selalu merubah suasana. Juga rasa
minder.
Dalam perjalanan pulang aku
mengutuki diriku sendiri, berusaha menyadarkan diri bahwa apa yang baru saja
terjadi itu tidak pantas. Ia tidak tahu....
Drrrrtt....
From
Bejo
Sudah tiba? Senang berkenalan denganmu.
Tapi kamu bahkan belum menyebutkan namamu. Boleh saya tahu?
Apa kamu tahu bahwa aku mengagumimu sejak lama? Bahkan jauh sebelum
kita pertama bertemu. Apalah aku ini, seorang yang bahkan mungkin baru kau
perhatikan hari ini, padahal aku telah berdiri di depanmu beberapa kali.
Perasaanku
membuncah. Bahagia, amarah, sedih, curiga, senang, semuanya bercampur jadi
satu.
Reply
to Bejo
Namaku Cella. Terima kasih, Bejo. Malam ini
kamu lebih keren dari malam-malam sebelumnya.
Mungkin hanya dengan cara ini
aku dapat mengobrol dengannya. Bahkan mungkin malam ini terakhir kalinya aku
berani berdiri tepat di hadapannya. Aku hanya akan menjadi pengagumnya dari
kejauhan. Atau aku tidak akan pernah lagi mengobrol dengannya, bahkan hanya
dengan pesan singkat seperti sekarang.
29 Juni 2014.
Sebenarnya ini (masih) tentang pemain cello itu (lihat postingan sebelum ini).
Ditulis dalam rangka turut memeriahkan hari pertama #SehariBercerita.
Backsong: Camera Obscura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar