Langit biru dengan gumpalan kapas menghiasinya. Indah, seperti ceritaku dengannya.
Aku teringat
akan seorang pemuda pembenci laba-laba. Seorang yang mengajariku beberapa hal
yang sebelumnya belum aku ketahui, termasuk bahwa green tea dan green tea latte
adalah beda. Seorang yang di manapun kami bermain dengan waktu, berkomentar
tentang racikan setiap minuman yang kami pesan. Seorang yang membawaku lari
dari kesedihan, waktu itu.
Aku lupa-lupa
ingat momen pertama kali kami bertemu. Yang aku ingat kami berkenalan di sebuah
aplikasi berkirim pesan yang dilengkapi dengan stiker-stiker lucu. Saat itu aku
sedang menghadiri sebuah acara di kota sebelah, sebuah festival musik folk.
(lagi-lagi jadi teringat tentang pemain cello itu)
Hari pertama
tidak begitu menggodaku, tapi aku hadir. Aku menonton dari sebuah kafe di
samping panggung. Badanku lemas. Aku tenggelam dalam percakapanku dengannya, di
ponsel. Itulah kali pertama kami berkenalan.
Sepulangku ke
kotaku, kami bertemu, bertukar cerita, berbagi tawa, begitupun hari-hari
berikutnya. Tanpa sadar pertemuan kami mencapai level berlebihan. Ia
mengantar-jemputku kuliah (padahal aku bisa sendiri), mengajak makan siang (plus membayar), mengantar ke toko buku,
menghabiskan sore di kedai kopi, hingga membawakan makanan sepulang ia bekerja.
Ia benci
laba-laba. Ia bahkan pernah tak berani melewati pintu kamarnya karena ada
seekor laba-laba kecil. Ia juga tak suka pedas. Katanya, ia akan bingung
seperti kera apabila mengecap rasa pedas sedikit saja. Aku selalu tertawa
membayangkannya.
Ia pernah
memberikanku sebuah pancake
bertuliskan “Sorry” di atasnya, buatannya sendiri. Aku selalu suka melihat ia
yang salah tingkah akibat candaan teman atau apabila aku sedikit menggodanya.
Kami pernah tersesat mencari jalan pulang. Saat itu hujan rintik-rintik. Ia
menggenggam tangan mungilku yang dingin bak es. Hari itu pertama kalinya ia
berani menggenggam tanganku.
Tak terasa
semakin lama waktu yang kami habiskan bersama. Senang? Aku senang. Bahagia? Aku
bahagia. Ternyata masih ada yang tulus
ingin berteman denganku, pikirku. Hingga suatu hari aku berhadapan dengan
sesuatu yang membuatnya enggan lagi berteman denganku. Enggan, karena telah
terbersit tujuan berbeda olehnya. Ternyata pikiranku salah. Bukan, yang ia
inginkan bukanlah sekedar teman.
Ah, tapi aku tak
pernah menyalahkannya, karena cerita kami terlalu indah.
Berhenti mengutuki dirimu. Bukan kau yang
salah, tapi aku. Seharusnya aku tak sebegitunya tenggelam dalam zona nyamanku.
Peluk hangat untukmu, Teman.
30 Juni 2014.
Tentang pembenci laba-laba.
Ditulis dalam rangka turut memeriahkan hari kedua #SehariBercerita.
Backsong: The Head and the Heart.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar