Sabtu, 18 Agustus 2012

De Saaie Grind (1)

Dentingan lonceng sore ini membawa anganku terhanyut menari seirama dengan lantunan terdengar. Mataku terpejam menikmati bayangan-bayangan yang tercipta. Menari, menari, berputar, melompat, menunduk, menari, terus menari. Sangat indah. Otot-otot bibirku tertarik menciptakan sebuah lengkungan. Manis. Seperti anganku yang menari sekarang. Desiran angin meniup sisa-sisa rambut yang kucepol. Bulu mataku turut melambai bersama angin. Anganku tetap menari. Perlahan ia menelanjangi dirinya. Tarian yang ia buat semakin menjadi-jadi. Dahiku terkernyitkan seketika. Otakku mulai turun tangan. Bibirku perlahan bergerak turun hingga datar. Dentingan lonceng terdengar semakin samar dan HILANG. Pikiranku buyar seketika. Mataku terbuka secara paksa. Ini sangat tidak nyaman.
Aku mengarahkan bola mataku ke kanan, bergerak ke kiri, kemudian kuputar badanku mencari-cari. Tidak kutemukan seorang pun dimana pun. Aku menyandarkan punggungku kembali. Tangan kananku memijat-mijat dahi sementara otakku terus bekerja keras. Aku melemparkan pandanganku ke seluruh sudut ruangan sekali lagi. Ternyata benar. Aku mendengus. Tapi……benda apa itu?! Aku memutar kepalaku ke kanan cepat. Leherku sedikit kumajukan dan mataku kukedip-kedipkan. Mencoba menerka benda apa itu. Ah, mungkin hanya hiasan tempat ini. Aku kembali bersandar dan menekuk lututku. Kuletakkan kepalaku di atas lutut dan tanganku membenarkan cepolan rambutku. Tubuhku lelah. Otakku memaksa otot-ototku agar meregang. Tubuhku semakin lemas. Aku menoleh ke kiri, memusatkan perhatianku ke luar ruangan, tetap dengan posisi sebelumnya. Angin kembali mengajakku bermain dalam permainannya. Aku ingin. Sangat ingin. Namun waktu tidak mengijinkanku. Angin, ijinkan aku menolak ajakanmu untuk kali ini.
Aku meraih benda bulat berwarna cokelat dan memasukkannya ke dalam tasku. Aku berdiri, meraih ponselku, dan melangkahkan kaki meninggalkan tempat itu, tentunya melalui pintu keluar yang terletak di sebelah kanan dari arah dudukku tadi. Sedikit kecewa. Namun dentingan lonceng dan desiran angin yang telah mengajakku bermain dengan tarian cukup membuatku menikmati waktu sia-sia ini.
Benda di meja itu masih menarik perhatianku. Terpaksa aku menghampirinya. Sebuket mawar merah! Indah. Seperti yang selalu aku dapat setiap bulan. Aku mengernyitkan dahi, meraih sebuah catatan kecil di sana. Catatan itu bertuliskan “I’m sorry, this is the last. I love you”. Tubuhku lemas seketika. Catatan itu melayang jatuh ke lantai. Buket mawar pun aku biarkan meluncur dari tangan kiriku. Aku mencoba menopang tubuhku yang tiba-tiba terasa berat. Dan………gelap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar