Minggu, 06 Juli 2014

Cello Cella 2

“Cella, masih ingat dengan saya?” aku mengerutkan dahi, mencoba mengingat. Ah! Aku ingat! Belum sempat aku mengangguk, ia melanjutkan bicaranya. “Saya Edi.” Aku mengangguk cepat sambil tersenyum.
Ia melanjutkan lagi bicaranya. “Kamu bisa bermain pianika, kan?” Aku mengangguk antusias. Aku sudah mengerti apa maksud pembicaraan ini. “Mau bergabung dengan proyek saya? Aliran kita, kok.” Tanpa basa-basi (karena memang aku tak pandai bahkan tak bisa basa-basi), aku menyetujuinya.
Obrolan kami lanjutkan melalui pesan karena sama-sama dikejar waktu. Mungkin juga agar ia lebih mudah mengobrol denganku. Ia tahu aku bisu.
Ia adalah mantan kekasih dari sahabatku sejak SMA. Ia tak jarang menyaksikan penampilanku bersama bandku. Dulu aku seorang pemain keyboard. Bulan demi bulan, aku mengundurkan diri karena aku merasa tak semakin nyaman pada aliran musik bahkan anggota lainnya.
Seiring berjalannya waktu, aku menemukan jati diriku dalam hal musik. Aku jatuh cinta setiap hari pada musik folk. Hari-hariku dipenuhi tentangnya. Aku sering hadir dalam acara musik ini di kotaku, bahkan kota sebelah, di tengah-tengah kesibukanku sebagai seorang cook helper di sebuah toko roti.
Acara di kota sebelah waktu itu. Terpaksa aku mengingatnya lagi. Pemain cello itu. Akhirnya aku dapat berkenalan langsung dengannya di sana. Ia yang memanggilku. Ia mengenalkan dirinya. Aku diam. Mungkin ia berpikir aku terlalu terpana sehingga tak berbicara sedikitpun waktu itu.
Aku tak tahu, ia tahu atau tidak tentang aku yang sebenarnya bisu. Kami masih saling berkirim pesan. Setiap ia meneleponku, aku mencari-cari alasan. Aku tak ingin ia tahu. Aku malu.
Sebenarnya aku tak terlalu sibuk, karena aku hanya bekerja setengah hari. Sisanya, aku habiskan dengan membaca buku, menulis surat, bersepeda, menghadiri berbagai acara santai di kotaku. Aku tidak selalu sendiri. Kadang-kadang Jule menemaniku.
Jule. Perempuan bertubuh kurus kerempeng. Berambut lebih pendek dariku. Tingginya sekitar 5 sentimeter di atasku. Kulitnya lebih putih dariku. Bibirnya selalu merah. Yang jelas ia tak bisu sepertiku.
Aku menemukan makhluk sempurnya sepertinya di sebuah kafe. Saat itu aku datang sendirian. Tak ada meja kosong. Aku melihat kursi kosong di depan Jule dan temannya. Aku menghampiri, memberi isyarat dengan menunjuk kursi kosong tersebut. Ia sepertinya tahu aku bisu. Ia mempersilakanku.
Kami mengobrol walaupun ia tak mengerti apa yang aku katakan dengan bahasa isyaratku. Sejak itu, kami sering bertemu dengan sengaja.
“Jule, kapan kau libur?” tanyaku dengan bahasa isyaratku.
“Lusa saya dapat libur selama dua hari,” jawabnya sambil kembali ke layar di depannya.
“Minggu ini saya libur. Kamu bisa temani saya ke Yogya? Kita berangkat besok sepulang kerja. Bagaimana?” aku menepuk bahunya sebelumnya, agar dia melihatku.
“Cella, deadline saya bagaimana?” ia kebingungan.
“Tenang saja, kau bisa menyelesaikannya di sana. Kita hanya pergi tiga jam, selebihnya di kamar saja. Saya hanya ingin melihat Bejo,” jawabku sambil terkekeh.
Jule merespon dengan sumringah dan semangat. Ia menutup laptop dan bangkit untuk berganti pakaian. Aku tak paham dengan antusiasnya itu.
“Mau ke mana, Jule?”
“Cepatlah ganti pakaianmu! Kita ke stasiun, beli tiket.”
Untungnya ini bukan hari libur. Kami masih dapat kursi. Aku grogi. Jantungku berdetak cepat. Darahku mengalir deras. Pikiranku sulit membayangkan bagaimana pertemuan kami nanti. Bagaimana bila dia tahu kalau aku bisu?
“Jule, menurutmu apakah saya harus memberitahunya bahwa kita akan datang?”
“Jangan! Biarkan ia terkejut dengan kehadiranmu,” kata Jule dilanjutkan tawa kecilnya. Aku menurut.
Aku hanya takut ia akhirnya tahu tentang diriku yang tak bisa berbicara. Ia pasti akan kecewa. Ia pasti malu berteman denganku. Ia pasti tak akan mengenaliku lagi bila bertemu kembali. Bukankah semua manusia seperti itu? Seorang teman seperti Jule hanyalah bonus. Ah, sudah, tak apa. Aku siap melihatnya memunggungiku.

3 Juli 2014.
Lanjutan Cello Cella.
Ditulis dalam rangka turut memeriahkan hari kelima #SehariBercerita.

Backsong: Two Door Cinema Club.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar